Novel “Bumi manusia” karya Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu karya sastra Indonesia yag sangat memukau. Dengan latar belakang kolonialisme di hindia Belanda, novel ini mampu menggugah perasaan pembaca terhadap perjuangan dan cinta yang begitu mendalam.
Lewat karakter Minke dan Nyai Ontsoroh, Pramoedya berhasil menggambarkan kompleksitas hubungan antara kelas sosial dan perjuangan melawan ketidakasilan. Dengan gaya bahasa yang khas dan penuh makna, “Bumi Manusia” menjadi salah satu karya sastra terbaik yang wajib dinikmati oleh pecinta literatur Indonesia.
Identitas Buku
Judul : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun terbit : Juni 2018 (cetakan ke-27), 1980 (cetakan pertama)
Tebal : 535 halaman
Orientasi
Pramoedya Ananta Toer adalah seorang kritikus dan tahanan politik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Beliau sempat dibuang ke pulau Buru karena kritik pedasnya kepada pemerintah. Di pulau Buru beliau menghabiskan masa pengasingannya dengan menulis. Salah satu karyanya adalah “Bumi Manusia” yang merupakan novel pertama dari roman Tetralogi Buru.
Sinopsis
Novel Bumi Manusia ini mengambil latar belakang di Indonesia, tepatnya di Desa Wonokromo, Surabaya. Antara tahun 1898 hingga tahun 1918 yang tercatat oleh sejarah sebagai masa awal Kebangkitan Nasional. Bercerita tentang seorang pemuda keturunan Priayi Jawa bernama Tirto Adhi Soerjo, orang memanggilnya dengan sebutan Minke yang bersekolah di H.B.S atau Hogere Burgerschool, ia merupakan anak bupati Kota Blora. Namun, Minke tidak menganggap darah bangsawannya itu sebagai sebuah anugerah. Dia mengkritisi kebiasaan Priayi Jawa yang terlalu mengagung-agungkan kekuasaan, jabatan, atau kedudukan pria atas wanita.
Kisah Bumi Manusia benar-benar dimulai saat Minke menerima ajakan teman sekelasnya, bernama Robert Suurhof untuk ke Wonokromo berkunjung ke rumah seorang gadis Indo-Eropa yaitu Annalies Mellema. Annalies tinggal di sebuah rumah mewah bersama seorang Nyai bernama Nyai Ontosoroh dan kakaknya, yaitu Robert Mellema. Sebutan Nyai pada masa kolonial Belanda berarti gundik yaitu simpanan orang Eropa yang tidak dinikahi secara resmi.
Namun kunjungan Minke ke rumah Annalies mendatangkan masalah, Ayah dan kakak Annalies menolak kehadiran Minke dirumahnya karena ia seorang pribumi. Selain mendapat pertentangan dari Ayah dan kakak Annalies, Minke juga mendapat masalah dari Rubert Suurhof sebab mereka menyukai dan mencintai Annalies Mellema. Namun, Annalies justru mencintai Minke. Bahkan Minke terpaksa keluar dari sekolah karena isu mengenai hubungannya dengan Nyai Ontosoroh padahal saat itu Minke menjalin hubungan dengan Annalies yang mana hubungan itu pun mereka resmikan dalam ikatan pernikahan. Demikianlh Minke masuk ke dalam lingkungan Nyai Ontosoroh dan Annalies.
Minke telah merasakan segala kebahagiaan, namun kemudian dihadapkan pada bencana yang membuatnya terpuruk dan hancur. Hukum Belanda, yang juga dikena sebagai hukum bangsa Eropa, telah memengaruhinya. Sebuah bangsa yang selama ini ia hormati dan kagumi.
Seorang Pribumi seperti Minke tidak memiiki kekuatan untuk menentang perbudakan yang seharusnya telah dihapuskan, tetapi masih terlihat jelas di sekitarnya. Dengan menggunakan nama samara Max Tollenaar, ia menyuarakan ketidakpuasannya dengan menuliskan pemikirannya dalam surat kabar berbahasa Belanda. Minke, yang dididik dengan cara berpikir modern, memahami pentingnya kesetaraan dalam hal sosial, di mana rasa hormat harus diberikan kepada seseorang berdasarkan pemikiran yang cerdas atau kepribadian yang mengagumkan, bukan karena kedudukan sosial yang dimilikinya.
Namun, tinggal bersama Nyai dirumahnya membuat Minke melihat dirinya sendiri secara kritis, serta menyuarakan ketidakpuasan terhadap perlakuan yang tidak adil terhadap pribumi dan kompeni. Sejumlah konflik yang dihadapi Minke, Nyai, dan Annalies mencerminkan ketidakjelasan dalam penerapan hukum pada masa itu, yang mengakibatkan perlakuan tidak adil terhadap mereka yang bukan totok. Awalnya, Minke sangat mengagumi bangsa Eropa dan mengesampingkan budaya Jawa, tetapi pada akhirnya ia menyadari bahwa bangsa Eropa yang ia kagumi sebenarnya adalah penindas bangsa lain, bahkan mencemooh perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan pemikiran modern yang mereka ajarkan di sekolah Belanda.
Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan dari novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer adalah cerita yang kuat dan mendalam, serta karakter-karakter yag kompleks dan memikat. Dalam novel ini, disuguhkan dengan gambaran kehidupan masyarakat pada masa kolonial, sehingga memberikan wawasan yang luas tentang sejarah dan budaya Indonesia.
Namun, di sisi lain, kekurangan dari novel ini mungkin terletak pada penggunaan bahasa yang kompleks dan sulit dipahami bagi pebaca yang kurang terbiasa. Selain itu, beberapa pembaca mungkin merasa bahwa alur cerita terlalu lambat atau membingungkan.
Secara keseluruhan, “Bumi Manusia” adalah sebuah karya sastra yang bernilai tinggi dan layak untuk dinikmati oleh pembaca yang ingin mendalami karya-karya sastra Indonesia.
Kesimpulan
Bahwa kekuatan cinta, persahabatan, dan semangat perlawanan terhadap penindasan mampu mengatasi segala rintangan dan kekejaman. Melalui tokoh Minke, pembaca diajak untuk merenungkan arti kebebasan, martabat, dan perjuangan dalam menghadapi ketidakadilan. Dengan kisahnya yang penuh warna dan penuh makna, “Bumi Manusia” mengajarkan kita tetang pentingnya mempertahankan martabat dan harga diri, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam situasi apapun.