Kamis, April 18, 2024

Oksidentalisme dalam Bumi Manusia

Rae Wellmina
Rae Wellmina
Pelayan Kata. Menulis Embun Kerinduan (2019) S1 Business Administration Undip & Ateneo de Manila Univ Phillipines S2 Islamic Philosophy & Mysticism di Jakarta Bergiat di Rumi Institute & Center of Living Islamic Philosophy Jakarta IG: raewellmina / FB: rae wellmina / e-mail : raewellmina@gmail.com

Bumi manusia, roman masterpiece Pramoedya Ananta Toer, baru saja difilmkan sejak 15 Agustus 2019. Salah satu pelajaran yang menarik disimak dari Bumi Manusia ialah relasi pribumi Nusantara vis a vis Barat, yang belakangan dipopulerkan oleh Hassan Hanafi sebagai Oksidentalisme, yang memiliki tiga pilar utama yaitu : sikap kita terhadap tradisi lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan sikap kita terhadap realitas.

Oksidentalisme, oleh Hassan Hanafi, guru besar filsafat universitas Kairo Mesir, dimaksudkan sebagai tools, atau alat bantu bagi bangsa dunia ketiga atau bangsa Timur (Asia Afrika) dalam menghadapi hegemoni Barat.

Jika Barat telah terlebih dulu memiliki dan mengembangkan Orientalisme, dimana Barat menjadikan Timur sebagai objek kajian, dan Barat sendiri memposisikan diri sebagai subjek peradaban. Maka Oksidentalisme adalah bagaimana bangsa Timur harus mengambil sikap dan memposisikan diri terhadap Barat.

Bedanya, jika Orientalisme sering dijadikan sebagai alat Barat untuk memahami Timur lalu direduksi untuk kepentingan kolonialisme dan imperialisme Barat, maka Oksidentalisme tidak bermaksud untuk menyerang balik Barat secara hegemonik. Tapi Oksidentalisme ingin agar Timur dan Barat berdiri sejajar dalam posisi setara.

Oksidentalisme tidak bermaksud hendak dijadikan alat imperialisme tandingan untuk menindas atau menjajah Barat oleh Timur. Tidak. Tidak begitu. Oksidentalisme justru ingin meletakkan hubungan Barat dan Timur dalam posisi egaliter, setara sebagai rekan dialog dalam membangun peradaban secara bersama-sama tanpa saling merendahkan satu sama lain.

Jika “kacamata” Oksidentalisme kita pakai untuk membedah Bumi Manusia, maka hasilnya akan sangat menarik. Barat tidak selalu identik ditampilkan dengan kolonialisme, imperialisme dan penjajahan.

Sebaliknya Timur juga tidak selalu identik dengan kebenaran, keadilan dan ketertindasan. Tapi kita harus melihat Barat dan Timur secara dialektik dan gradual. Ada yang baik sekaligus buruk di Barat, demikian juga di Timur. Ada yang membela keadilan di Barat, demikian juga di Timur.

Ringkasnya Barat dan Timur tidak bisa dilihat dengan kacamata oposisi biner, jika tidak putih maka hitam, jika tidak kanan, maka pasti kiri. Tidak bisa begitu. Karena manusia itu sedemikian kompleks, meminjam bahasanya Pramoedya, meski pandanganmu setajam elang, persoalan manusia tidak akan pernah kemput (tuntas).

Bumi Manusia sangat jenius ketika menampilkan Barat sebagaimana Timur tidak secara monolitik, tidak satu warna. Tapi dalam bentuk gradasi dialektik. Dalam artian, Barat tidak semuanya pro kolonialisme-imperialisme, tapi ada juga yang pro pribumi, diwakili sosok Magda Peters, guru sastra di HBS.

Juga Tuan Assisten Residen Herbert de la Croix beserta dua putrinya, yang menjadi sahabat minke, sang protagonis. Juga ada Jean Marrais, pelukis Prancis, mantan tentara VOC yang pemikirannya membuka horizon pemikiran Minke. Di samping Dokter Martinet yang juga bersahabat dengan minke dalam memahami Annelies.

Namun di sisi lain, Barat juga memiliki sosok yang berjiwa imperialis culas seperti, Ir Maurits Mellema beserta antek-anteknya di pengadilan. Juga ada mental separuh Barat seperti Robert Surhoof dan Robert Mellema, yang memilih Barat. Serta ada yang memilih pribumi seperti Jan Daarspete serta Annelies Mellema, bunga Bumi Manusia yang cantik gilang gemilang.

Sedangkan pribumi yang bermental budak, menjual harga diri di hadapan Barat bisa dilihat pada sosok Sosrotomo yang menjual Sanikem (Nyai Ontosoroh muda). Kakak kandung Minke dan Ayahanda Minke, bisa juga dimasukkan dalam kelompok ini.

Relasi Timur dan Barat sangat apik ditampilkan dalam Bumi Manusia, karena segalanya ditampilkan sangat proporsional. Bandingkan dengan karya-karya novel atau roman dan film lain karya anak bangsa, yang hampir selalu menampilkan Barat dan Timur dalam warna yang monolitik, satu warna. Bahwa kulit putih identik jahat, pro penjajah, imperialis. Dan sebaliknya kulit berwarna pribumi selalu pro kebenaran dan kemerdekaan.

Di sisi lain, umumnya penulis tanah air akan gugup, rebah dan takjub dengan Barat beserta segala pencapaiannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga segala yang datang dari Barat dianggap sebagai kemajuan dan kebenaran. Hampir sangat sulit kita menemukan karya penulis tana air yang berani mengkritik Barat dengan elegan.

Watak inlander, atau tidak percaya diri saat berhadapan dengan Barat, terlihat jelas pada banyak novel karya penulis nusantara. Dan dari sedikit yang berani mengkritik Barat secara elegan adalah Bumi Manusia, karya penulis kelahiran Blora, yang beberapa kali digadang untuk menerima hadiah Nobel Sastra, namun belum kesampaian hingga akhir hayatnya.

Menariknya, Bumi Manusia, selain mengkritik sikap sewenang-wenang Barat, ia juga memandang Barat sebagai guru. Panutan dalam ilmu pengetahuan dan pelopor dunia modern. Namun Barat juga sekaligus sebagai perampas hak pribumi yang sadis tidak dilupakan oleh Pramoedya sebagai penulis yang berkarakter kuat. Inilah paradoks Barat yang ditampilkan dalam Bumi Manusia.

Jadi Barat tidak semuanya jahat, juga tidak semuanya baik. Sebagaimana pribumi tidak semuanya memihak keadilan, dan bangsanya sendiri. Sebagian ada yang menjual harga dirinya kepada Barat.

Maka membaca Bumi Manusia akan menyadarkan kita, betapa benar dan salah, dalam bingkai relasi peradaban Barat dan Timur (pribumi) adalah suatu hubungan yang kompleks, tidak bisa disederhanakan bahwa Barat selalu salah dan Timur selalu benar. Juga tidak bisa sebaliknya.

Dan yang menjadi kata kunci disini adalah kejujuran kita sebagai pembaca, sebagai manusia, sebagai kalangan terpelajar dalam melihat Barat dan Timur itu sendiri. Hal ini sebagaimana disuarakan oleh Bumi Manusia melalui lisan Jean Marrais yaitu, harus berlaku jujur sejak masih dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.

Rae Wellmina
Rae Wellmina
Pelayan Kata. Menulis Embun Kerinduan (2019) S1 Business Administration Undip & Ateneo de Manila Univ Phillipines S2 Islamic Philosophy & Mysticism di Jakarta Bergiat di Rumi Institute & Center of Living Islamic Philosophy Jakarta IG: raewellmina / FB: rae wellmina / e-mail : raewellmina@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.