Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah Jepang untuk segera menghentikan investasi pengembangan industri batubara dan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia. Pasalnya, adanya proyek-proyek tersebut akan berdampak pada lingkungan Indonesia yang semakin buruk seperti pencemaran udara, air, dan penggundulan hutan.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Pius Ginting, mengatakan saat ini pemerintah Jepang melalui perusahaan-perusahaannya dan lembaga keuangannya tengah gencar berekspansi dan menanamkan modalnya di bidang pertambangan batu bara dan pembangkit listrik di Indonesia.
“Hadirnya investasi ini dapat mengakibatkan lingkungan di Indonesia akan semakin tercemar akibat aktivitas perusahaan tambang dan operasional PLTU batubara di sejumlah tempat. Jika terjadi demikian, artinya Jepang turut serta mencemari lingkungan di Indonesia,” kata Pius dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (13/11).
Dia merujuk pada perusahaan asal Jepang, Mitsubishi UFJ Financial, salah satu lembaga keuangan terbesar kedua di Indonesia setelah Citigroup milik Amerika Serikat, yang membiayai industri batubara di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, lembaga tersebut telah mengucurkan biaya US$ 53.337 juta untuk industri batubara di Indonesia.
“Pembiayaannya ini bahkan jauh melampaui pembiayaan yang dikucurkan Bank Mandiri dalam mendanai energi fossil yang jumlahnya sebesar US$ 915 juta,” tuturnya.
Desriko Malayu Putra, aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa sejumlah proyek-proyek pembangunan PLTU batubara yang didukung Jepang kerap bermasalah dengan masyarakat setempat. Biasanya menyangkut pembebasan lahan. Warga dipaksa untuk melepaskan tanah mereka di bawah ancaman yang melibatkan preman-preman dan oknum-oknum dari pihak TNI dan Polri.
“Kasus pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah, misalnya. Pembangunan yang didanai oleh Japan Bank for International Coorporation itu hingga kinii masih bermasalah. Anehnya, negara mendukung upaya pembebasan lahan secara paksa itu dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum,” tegasnya.
Karena itu, kata Desriko, jika ini tidak segera dihentikan, kejadian-kejadian seperti di Batang bukan tidak mungkin akan terus terulang di daerah lainnya. Terlebih sampai saat ini lembaga keuangan asal Jepang tersebut terus mendanai industri-industri batubara yang ada di Indonesia.
Selain berpotensi mencemari lingkungan, lanjutnya, aktivitas tambang bahkan telah menghancurkan ekonomi masyarakat. Seperti kasus yang dialami warga di sekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat, yang didanai Marubeni. Warga mengeluh lantaran air yang mereka gunakan untuk tambak garam menghitam akibat aktivitas PLTU Batubara. Disekitar PLTU Paiton, Jawa Timur, pun demikian. Warga mengeluh karena produktivitas tanaman tembakau mereka menurun dan banyak pohon-pohon kelapa yang ditanam tiba-tiba mati.
Berdasarkan hasil penelitian Greenpeace Indonesia pada 2015, batubara yang dibakar di sejumlah PLTU-PLTU di Indonesia memancarkan sejumlah partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian dini. Saat ini angka kematian akibat penyebaran partikel berbahaya tersebut sudah mencapai 6.500 jiwa per tahun di Indonesia.
“Angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa per tahun seiiring rencana pembangunan PLTU batubara yang baru di Indonesia.”
Desriko mengingatkan, sebagai negara maju yang punya kemampuan finansial dan teknologi dan memiliki tanggung jawab historis lebih besar dalam menghasilkan gas rumah kaca, Jepang seharusnya menunjukkan kepemimpinannya untuk mengurangi pembiayaan energi fossil dan lebih mendorong pengembangan energi terbarukan.