Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, lemahnya kontrol dan pengawasan dalam peredaran senjata menyebabkan konflik di Timur Tengah seperti; Suriah dan Mesir. Karena itu, jika pemerintah tidak mampu mengontrol maka akan menimbulkan ketidakamanan di tiga level; internasional, regional dan nasional.
“Rezim transaparansi dan akuntabilitas dalam perdagangan peredaran senjata memiliki persoalan serius karena berimpilkasi ketidakamanan di tiga level,” kata Al Araf di Jakarta, Kamis (22/1). Menurutnya, indeks yang dilakukan oleh Transparency International United Kingdom sangat penting untuk keamanan negara.
Dia menambahkan, indeks ini bukan untuk memojokkan institusi militer atau pertahanan, akan tetapi untuk memastikan keamanan dalam tiga level tersebut. Kalau tidak ada kontrol yang kuat, transparansi dan akuntabilitas dalam peredaran senjata maka bukan tidak mungkin hal tersebut juga terjadi di Indonesia.
Berdasarkan data Imparsial, bisnis ilegal yang tertinggi dan menduduki peringkat pertama dalam dunia internasional adalah Narkotika. Kemudian disusul dengan peredaran senjata di peringkat ke dua. Karena itu, pihaknya mempertanyakan akuntabilitas industri-industri pertahanan diberbagai negara terkait persoalan ini.
Al Araf mengatakan, indeks Transparency International Unnited Kingdom ini sangat berkontribusi kepada internal militer sendiri. TNI dan Kementerian Pertahanan harusnya memandang indeks tersebut suatu kontribusi yang positif, karena sejatinya untuk memberi rasa aman untuk prajurit sendiri. Contohnya, prajurit yang menggunakan pesawat tempur, kalau itu terindikasi korupsi dan berbagai macam permasalahan maka akan meresahkan prajurit.
Kita masih ingat saat koalisi yang terdiri dari Imparsial dan ICW yang mempertanyakan skandal Sukhoi. Bahkan, seorang pilot mengungkapkkan keresahannya dengan mengirim saya email. “Saya setuju pendapat anda, bongkar semua persoalan di sektor alutsista karena sudah banyak kawan-kawan saya yang jatuh,” kata Al Araf.
Artinya, sesungguhnya indeks ini sangat penting untuk memastikan cikal bakal rasa aman bagi prajurit dalam menggunakan alutsista, baik itu pesawat, kapal dan kendaraan tempur lainnya. Menurut dia, bukan satu kali kasus yang merenggut nyawa prajurit, di masa reformasi; kapal tenggelam, tank amfibi tenggelam karena persoalan pengadaan alutsista bermasalah. “Ini akibat jika transparansi dan akuntabilitas yang tidak cukup baik di sektor pertahanan.”
Selain itu, pemerintah harus membangun kapasitas TNI yang profesional. Jadi transparansi dan akuntabilitas akan menciptakan prajurit yang profesional, hal itu juga terlihat di negara maju manapun. Kemudian prinsip tujuan militer profesional hanya dipersiapkan untuk perang. Jika diperuntukan untuk perang maka secara kapabilitas dan kapasitas modernisasi persenjataan harus sangat baik.
“Karenanya untuk memastikan senjata yang baik, profesional militer harus dengan transparansi dan akuntabilitas. Jadi indeks ini postifif dan sepantasnya bagi Presiden, Wakil Presiden dan Menteri Pertahanan harus dijadikan rujukan untuk membangun rekomendasi kebijakan di sektor pertahanan,” kata Al Araf.
Dedi Haryadi, deputi Transparency International Indonesia mengatakan, korupsi di tubuh militer bisa membahayakan keamanan dan kedaulatan negara, keamanan warga, menghamburkan sumberdaya, dan juga membahayakan keselamatan tentara. Indeks antikorupsi militer (IAKM) Indonesia memang bergeser membaik. Capaian ini menimbulkan perubahan status risiko korupsi militer di kawasan Asia Pasifik maupun G20.
“Pergesaran IAKM Indonesia sudah cukup baik, tapi belum cukup. Kita perlu mendorong supaya IAKM Indonesia bisa menjadi B atau C dalam dua tahun ke depan. Dan dalam jangka panjang harus masuk katagori A,” kata Dedi.
Seperti diketahui, hasil survei Transparency International United Kingdom bertajuk Government Defence Anti-Corruption Index 2015 menunjukkan risiko korupsi di tubuh militer Indonesia tergolong tinggi. Ada enam kategori nilai dalam indeks ini, yakni A (sangat rendah), B (rendah), C (sedang), D (tinggi), E (sangat tinggi), dan F (kritis).
Dalam indeks ini, militer Indonesia masuk katagori D. Katagori tersebut sudah mengalami kenaikan dari tahun 2013 di mana Indonesia masuk katagori E. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan perantara atau broker turut mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sebab, broker mendapatkan jatah sekitar 30-40 persen dari total nilai pengadaan alutsista tersebut.[*]