Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat didesak untuk segera merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Revisi undang-undang tersebut perlu dilakukan dengan menghilangkan pasal-pasal karet yang bias seenaknya mempidanakan seseorang.
Kepala Divisi Riset Lembaga Bantuan Hukum Pers, Asep Komarudin, menyayangkan revisi yang telah disetujui pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara hanya mengurangi sanksi pidana yang sebelumnya 6 tahun menjadi 4 tahun. Terlebih pembahasan revisi UU ITE sampan saat ini juga tidak jelas.
“Padahal, pasal-pasal karet yang menyangkut pidana seperti Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik merupakan pasal karet. Karena itu, seharusnya pasal-pasal yang menyangkut pidana seharusnya dihilangkan bukan lagi dikurangi,” kata Asep ketika ditemui di Jakarta.
Menurut dia, pasal-pasal mengenai hukum pidana seluruh aturannya sudah tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Karena itu, pasal-pasal karet yang menyangkut pidana yang ada dalam UU ITE tidak relevan digunakan. Hal ini pada akhirnya menjadikan ketidakpastian hukum.
“Seperti kasus pencemaran nama baik, ini seringkali disalahgunakan oleh pihak penegak hukum,” ujarnya. “Dan kerap menjadi permasalahan karena melanggar Hak Asasi Manusia yang berhak untuk berekspresi di muka umum, termasuk internet melalui peran media sosial.”
Selain menghapuskan pasal-pasal karet yang dapat mempidanakan seseorang, pihaknya mendesak agar UU ITE dikembalikan pada tujuan semula undang-undang tersebut dibuat. Yakni mengatur permasalahan yang rawan terjadi kejatahan dalam transaksi elektronik, bukan lagi melulu hanya kasus pencemaran nama baik.
“Jika semangatnya adalah meningkatkan penegakan hukum, seharusnya yang mesti diperkuat itu adalah KUHP, bukan UU ITE. UU ITE justru seharusnya melindungi masyarakat untuk secara bebas menyatakan ekspresinya,” tutur Asep.
Asep menambahkan, jika memang harus mengatur pasal-pasal yang menyangkut pidana dalam UU ITE, pemerintah dan DPR seharusnya mengatur hal-hal yang lebih substansial. Misalnya seperti kejahatan transaksi keuangan, pencurian data-data pribadi baik individu maupun kelopok atau institusi dan hal lainnya yang sifatnya memiliki potensi kejahatan besar.
Namun demikian, kata dia, revisi UU ITE sebaiknya ditunda pembahsannya hingga tahun depan. Mengingat masa sidang DPR yang tinggal tersisa 15 hari tidak memungkinkan pembahasannya nanti bisa dilakukan secara optimal. Dikahwatirkan yang terjadi justru revisi UU ITE diloloskan begitu saja tanpa ada proses pembahasan secara maksimal.
Jika terjadi demikian, revisi UU ITE akan sangat percuma dilakukan. Sebab, nantinya revisi UU tersebut tidak banyak mengubah hal-hal yang lebih esensial. [*]