Kamis, Maret 28, 2024

PUKAT UGM: Pemberantasan Korupsi Hancur Lebur

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Presiden Joko Widodo (kiri) menjawab sejumlah pertanyaan dari wartawan LKBN Antara, TVRI dan RRI Maulana ketika wawancara khusus di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (19/10). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/15.
Satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Presiden Joko Widodo menjawab sejumlah pertanyaan wartawan Antara, TVRI, dan RRI di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (19/10). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/15.

Setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memimpin, cita-cita untuk mengupayakan penegakan dan pemberantasan korupsi di Indonesia hancur lebur. Sebab, faktanya janji yang disampaikan Jokowi-JK pada masa kampanye ihwal pemberantasan korupsi banyak yang tidak terwujud.

Fariz Fachryan dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada mengungkapkan ketika kampanye, terdapat 9 janji yang diutarakan Jokowi-JK dalam menyikapi pemberantasan tindak pidana korupsi. Beberapa janji tersebut di antaranya mendukung dan memperkuat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan memastikan sinergi antara Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK.

“Fakta yang terjadi justru sebaliknya, sikap Jokowi tidak tegas. Terutama dalam menghadapi upaya pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi. Jika dilihat dari janji-janjinya, belum ada satu pun yang terealisasi. Maka tak heran jika Jokowi mendapatkan apresiasi yang rendah dalam penegakan hukum, terutama dari segi pemberantasan korupsi,” kata Fariz berdasarkan keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Kamis (22/10).

Menurut dia, pemerintahan Jokowi-JK tidak memiliki fondasi dasar untuk membangun dan memperkuat penegakan pemberantasan korupsi. Selama ini kinerja Jokowi-JK masih disibukkan dengan sirkus politik antara Istana dan DPR. Kesibukan lainnya masih berusaha menyenangkan partai politik dengan memberi posisi-posisi jabatan strategis. “Politik balas budi masih dominan dalam pemerintahan Jokowi-JK dalam setahun ini.”

Padahal, kata Fariz, selama setahun terakhir ada tiga isu yang menjadi persoalan penting mengenai pemberantasan korupsi. Pertama, upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK, RUU KUHAP, dan KUHAP yang tujuannya untuk mengurangi kewenangan KPK. Seperti pencabutan kewenangan penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan, diberikan kewenangan menghentikan perkara dan lainnya.

“Serangan terhadap KPK di era Jokowi-JK jauh lebih kuat dan masif. Celakanya, upaya pelemahan tersebut dilontarkan oleh politisi yang berasal dari pendukung pemerintah.”

Kemudian kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK dan aktivis antikorupsi. Ini salah satu yang menjadi petaka awal kepemimpinan Jokowi-JK karena tidak mampu menyelesaikan persoalan di lembaga kepolisian terkait pejabat yang terindikasi dengan rekening gendut. Perlawanan balik koruptor ini menyebabkan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan aktivis antikorupsi.

Kedua, buruknya kinerja Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Pemilihan Jaksa Agung yang berasal dari politisi sudah diduga dari awal akan menimbulkan masalah. Konflik kepentingan yang sangat besar akan berdampak pada politisasi penegakan hukum. Dugaan tersebut akhirnya terbukti dengan ditetapkannya Patrice Rio Capela menjadi tersangka.

Lalu, pemilihan Budi Gunawan sebagai Wakapolri adalah salah satu kebijakan kontroversi yang diambil Jokowi-JK. Sebab, masyarakat mengetahui jika Budi Gunawan merupakan salah satu petinggi Polri yang diduga memiliki rekening gendut. Penolakan masyarakat sangat kuat ketika Budi Gunawan dicalonkan sebagai Kapolri. Namun protes tersebut tidak begitu dihiraukan oleh Jokowi-JK, sehingga akhirnya Budi Gunawan diangkat sebagai Wakapolri.

Ketiga, pemberian remisi kepada koruptor oleh Kemenkumham pada 17 Agustus 2015. Sebanyak 1.938 narapidana korupsi di antaranya turut mendapatkan remisi umum 17 Agustus dan remisi Dasawarsa 2015. Berdasarkan catatan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), jumlah narapidana korupsi di seluruh Indonesia mencapai 2.802 orang. Dari total tersebut sebanyak 517 orang mendapat remisi dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dan 1.421 orang mendapat remisi melalui ketentuan PP Nomor 99 Tahun 2012.

Menurut Fariz, melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setahun belakangan tersebut menunjukan amburadulnya visi dan misi Jokowi-JK dalam pemberantasan korupsi. Banyaknya permasalahan yang timbul dan absennya Presiden menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Padahal, melihat program pemberantasan korupsi Jokowi-JK, jelas keduanya ingin menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Namun, faktanya, jangankan menjadi garda terdepan, untuk memberi jaminan perlindungan kepada KPK agar tidak diganggu saja tidak mampu,” katanya.

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.