Kamis, November 14, 2024

Presiden Jokowi Didesak Copot Jaksa Agung HM Prasetyo

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
- Advertisement -
Jaksa Agung HM Prasetyo (kiri) memasang pin tanda jabatan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono (kedua kiri) saat upacara pelantikan Jaksa Agung Muda di Gedung Utama Kejakasaan Agung, Jakarta, Jumat (30/10). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./aww/15.
Jaksa Agung HM Prasetyo (kiri) memasang pin tanda jabatan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono (kedua kiri) saat upacara pelantikan Jaksa Agung Muda di Gedung Utama Kejakasaan Agung, Jakarta, Jumat (30/10). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./aww/15.

Presiden Joko Widodo didesak untuk segera mencopot Jaksa Agung HM Prasetyo. Pasalnya, selama setahun menjabat, HM Prasetyo dinilai gagal menuntaskan kasus-kasus yang semestinya menjadi prioritasnya, seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

“Sebagai cerminan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla di bidang penegakan hukum, kinerja HM Prasetyo jauh dari memuaskan. Kinerja Jaksa Agung yang buruk tentu akan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi,” kata Koordinator Informasi Publik Indonesia Corrpution Watch Adnan Topan Husodo melalui keterangan resminya di Jakarta, Rabu (18/11).

Dia mengungkapkan, kinerja jajaran kejaksaan di bawah Jaksa Agung HM Prasetyo dalam upaya pemberantasan korupsi dan proses penegakan hukum sangat tidak memuaskan. Penilaian ketidakpuasan ini didasari pada sejumlah indikator.

Pertama, tidak terpenuhinya pencapaian pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dari 17 poin pekerjaan rumah yang tercantum dalam instruksi presiden tersebut, belum ada satu poin pun yang dapat terpenuhi.

Kedua, tunggakan aset Yayasan Supersemar dan piutang uang pengganti hasil korupsi milik keluarga Soeharto, yang telah diputuskan sejak September 2015 sebesar Rp 4,4 triliun, hingga kini eksekusinya belum juga dilakukan.

Ketiga, kerja jajaran kejaksaan dan Satuan Tugas Kejaksaan Agung tidak maksimal dalam penanganan perkara korupsi. Hingga April 2015, Satuan Tugas Kejaksaan Agung mengklaim telah menyidik 102 kasus korupsi, baik dari perkara mangkrak pada 2014 maupun perkara baru di 2015.

“Namun jumlah yang disampaikan tersebut terkesan masih sebatas pencapaian secara kuantitas, karena secara kualitas tidak banyak perkara korupsi yang berhasil digarap Satgas Tipikor ini. Apalagi belum ada satu pun perkara korupsi kakap yang dihentikan (SP3) kemudian dibuka kembali oleh Kejaksaan,” kata Adnan.

Keempat, penarikan Jaksa Yudi Kristiana dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tiba-tiba ketika menangani perkara yang melibatkan Patrice Rio Capella, politisi Nasdem. Padahal, masa tugas Yudi Kristiana baru berakhir pada 2019. Karena itu, penarikan ini semakin memperkuat dugaan keterlibatan Jaksa Agung dalam mengintervensi perkara tersebut.

Menurut Adnan, penanganan kasus korupsi yang dilakukan Kejaksaan sampai saat ini belum sepenuhnya menjalankan mandat pemerintah Jokowi-JK dalam program Nawa Cita yang diusungnya. Padahal, jika Kejaksaan Agung mendukung mandat Nawa Cita dalam upaya pemberantasan korupsi, tindakan Jaksa Agung tersebut tidak patut.

“Besarnya konflik kepentingan, penarikan Jaksa Yudi Kristiana, menjadi representasi wajah pemerintah saat ini dalam hal pemberantasan korupsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak konsisten terhadap upaya pemberantasan korupsi.”

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.