Transformasi untuk Keadilan (TUK) menilai hadirnya para perusahaan kelapa sawit Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara. Mereka adalah pemegang saham kendali di perusahaan tersebut, meski telah go public. Kendati demikian, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam aksi kebakaran lahan, yaitu Sinar Mas dan Wilmar Grup.
Direktur Eksekutif TUK Norman Jiwan mengatakan, bukti bahwa perusahaan kelapa sawit dikuasai oleh dua grup diperkuat dari total landbank yang dikuasai Sinar Mas sebesar 788,907 hektare (ha) dan Wilmar Grup sebesar 342,850 ha. Di Indonesia, 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit memiliki afiliasi pada perusahaan induk terbesar di Singapura, Kuala Lumpur, dan London. Kehadiran taipan dalam bisnis ini mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan jumlah besar dalam ekspansi bisnis.
“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, tapi juga lembaga finansial, khususnya perbankan. Perbankan semestinya ikut bertanggung jawab dengan tidak memberikan kredit kepada perusahaan pembakar lahan dan menunda Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek,” kata Norman di Jakarta kemarin. “Tindakan itu untuk memberi efek jera finansial kepada perusahaan.”
Bukti bahwa perbankan nasional turut andil dalam pembakaran terlihat dari pembiayan utama yang diberikan pinjaman kepada taipan pada 2009-2013. Bank asing yang paling besar membiayai taipan adalah HSBC (United Kingdom) sekitar US$ 1,7 miliar. Sedangkan perbankan nasional yang pertama adalah Bank Mandiri sekitar US$ 950 juta, disusul Bank Negara Indonesia sekitar US$ 450 juta, dan Bank Rakyat Indonesia sekitar US$ 380 juta.
Norman juga menjelaskan sejak bencana kabut asap melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan sejak pemerintah zaman Soeharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perusahaan taipan, lanjut dia, bukan tanpa masalah. Seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan bermasalah itu terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau. Hal itu bisa dilihat dari proses hukum perusahaan pembakar lahan yang belum tuntas. Bahkan pemerintah enggan mengungkap nama-nama perusahaan pembakar hutan dan lahan.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin. Kepala negara harus juga menindak tegas secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi rakyat atas lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik.
Kemudian, apabila perusahaan terbukti membakar hutan dan lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas. Di antaranya dengan penyitaan, denda disertai pengambilalihan manajemen perusahaan, sanksi terkait kegiatan perusahaan di Bursa Efek, publikasi perusahaan pembakar hutan, dan penangguhan atau pembatalan pinjaman untuk IPO.
Dengan adanya publikasi atas nama perusahaan pembakar hutan dan lahan, IPO bisa ditangguhkan atau dibatalkan. Salah satu tujuan IPO menghimpun dana dari masyarakat. Ini adalah sanksi yang sangat logis mengingat bank maupun pasar modal adalah lembaga intermediary yang menghimpun dana dari masyarakat luas. Ini bentuk komitmen OJK dan seluruh lembaga keuangan dalam mengimplementasikan finansial yang berkelanjutan di Indonesia.