Pemerintah Joko Widodo mengucurkan Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 102 triliun ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sepanjang tahun 2015-2016. Namun, jumlah PMN yang besar tidak sebanding dengan penerimaan keuntungan negara dari BUMN (deviden). Bahkan jumlahnya turun Rp 3 triliun dari tahun 2014 Rp 40 triliun menjadi Rp 36,9 triliun tahun ini.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan, PMN yang besar tidak sebanding dengan penerimaan deviden. Hal itu terjadi karena BUMN tidak memiliki regulasi perlindungan.
“Berapa suntikan modal (PMN), berapa deviden yang harus diberikan kepada negara dan berapa laba yang harus ditahan BUMN. Semua itu tidak ada regulasinya, sebab atas keinginan sendiri. Hal tersebut berpotensi besar menjadi bancakan,” kata Yenny di Jakarta, Rabu (16/9).
Menurut dia, pemerintah tidak boleh asal suntik PMN, sebab itu bisa disalahgunakan oleh kepentingan pribadi, partai politik, dan korporasi. Asumsi tersebut bisa terjadi kalau Dewan Perwakilan Rakyat tidak merespons. Padahal mereka mempunyai tugas pengawasan terhadap pemerintah.
Tak hanya itu. Tidak adanya regulasi dan pengawasan terhadap BUMN menyebabkan penundaan pembayaran deviden pada negara. Menurut data Fitra, hingga akhir 2014 BUMN memiliki tunggakan sebesar Rp 500 triliun.
“Besarnya deviden yang belum dibayar karena ada beberapa BUMN yang tidak menyetor kepada negara, padahal dia menerima PMN. Misalnya PT Garuda Indonesia yang selama tiga tahun berturut-turut tidak menyetor deviden tapi menerima PMN,” ungkap Yenny.
Kalau BUMN tak menyetor deviden, sebaiknya PMN tak lagi diberikan. Menurut Yenny, kasus seperti Garuda terjadi karena tidak ada regulasi yang jelas. Semua perusahan seharusnya punya target setoran deviden. Apabila tidak tercapai, ada sanksi terhadap BUMN. Kalau sanksi tidak diberikan, kasus semacam itu akan terus terulang.
Selain itu, Yenny menyoroti Kementerian BUMN yang tidak memiliki desain dan peta jalan selama lima tahun ke depan. Dengan modal besar, Kementerian BUMN tidak punya peta jalan sehingga ada potensi bancakan besar.
Menurut dia, idealnya, untuk mengantisipasi terjadinya bancakan PMN, paling tidak ada regulasi yang mengatur berapa APBN mengeluarkan suntikan kepada BUMN. Penyuntikan modal juga harus ada prioritas sesuai dengan Nawacita Joko Widodo, misalnya di sektor pertanian. Kemudian BUMN yang diberi PMN harus memberi keuntungan dalam waktu 5 tahun.
“Selama ini deviden negara bertahan di angka 20% dari laba bersih BUMN, dan ini tidak sesuai. Setahun laba bersih mencapai Rp 130 triliun, minimal 40-50% untuk deviden. Selebihnya untuk ekspansi perkembangan bisnisnya,” kata Yenny.
Dia juga menjelaskan laba yang ditahan BUMN seharusnya diketahui tujuannya. Kalau BUMN beralasan menahan laba untuk melakukan ekspansi perkembangan bisnisnya, maka harus ada transparansi dan akuntabilitas.[*]