Deputi II Kantor Kepresidenan RI Yanuar Nugroho mengatakan, perombakan birokrasi dalam pemerintahan Joko Widodo menjadi salah satu pemicu membaiknya peringkat Corruption Perception Index (CPI) Indonesia. Akan tetapi, pelaku korupsi juga terbangun dari pinggiran dan berjamaah.
Dengan demikian, kata Yanuar, pihaknya mendukung transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas dalam pemerintah agar mempersempit ruang korupsi. Tanpa transparansi dan partisipasi publik, mustahil mewujudkan pembangunan yang bersih.
“Bahkan pemerintah Joko Widodo akan merencanakan sebuah lembaga tunggal dalam menangani tindak pidana korupsi di Indonesia,” kata Yanuar di Jakarta, kemarin. Perencanaan itu sudah ada dalam agenda Joko Widodo, namun belum tahu kapan diimplementasikan.
Tak hanya itu, lanjut dia, pemerintah mendukung penguatan regulasi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan juga terkait United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi (2003) yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006. Pihaknya mengakui, dalam perbaikan UNCAC ada kendala, yakni tidak ada peraturan pelaksana.
Sementara itu, Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi Giri Suprapdiono mendukung rencana pemerintah Joko Widodo dalam perencanaan penegakan hukum oleh satu lembaga. Selama ini penegakan hukum di sektor korupsi ditangani oleh tiga institusi, yakni Kepolisiian, Kejaksaan, dan KPK.
“Polisi Malaysia dan Hongkong hanya menangani masalah tindak pidana umum. Sedangkan korupsi dipegang oleh lembaga antikorupsi,” ujar Giri. Memang, lanjut dia, lembaga antikorupsi di sana sudah memiliki jumlah penyidik yang cukup besar sehingga kasus korupsi ditangani satu lembaga.
Kalau di KPK, tambah dia, penyidiknya tidak sampai 100 orang. Sedangkan kasus korupsi yang masuk sangat besar, yakni 1.200 kasus. Karenanya hanya 600 kasus korupsi yang ditangani KPK per tahunnya. “Butuh KPK yang kuat, maka harus ada penambahan penyidik setiap tahun. Mininal naik 100-200 orang. Kita butuh 2.000 penyidik,” kata Giri. “Perbandingan saat ini 1:900 penyidik di Hongkong.”
Karena itu, ada persepsi di masyarakat saat ini bahwa KPK melakukan tebang pilih dalam penanganan korupsi di Indonesia. Padahal, bukan masalah tebang pilih, tapi KPK kekurangan penyidik dalam menangani kasus korupsi.
Seperti diketahui, Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada 2015 meningkat tajam. Indonesia menempati peringkat 88 dari 168 negara atau meningkat 19 peringkat dibandingkan 2014 yang menempati posisi 107.
Direktur Program Transparency International Indonesia (TII) Ilham Saenong mengatakan, posisi Indonesia naik lantaran ada perbaikan di sektor pelayan publik, seperti penggunaan satu nomor kartu identitas, pelayanan satu pintu, dan pemangkasan birokrasi yang tak diperlukan. Skor Indonesia meningkat menjadi dari 34 pada 2014 menjadi 36.
Kendati demikian, Indonesia belum bisa berbangga diri. Kenaikan tersebut belum mampu menandingi peringkat Malaysia yang memiliki skor 50, Singapura (85) dan sedikit di bawah Thailand (38). Namun, posisi Indonesia lebih baik dari Filipina (35), Vietnam (31), dan jauh di atas Myanmar (22).
Sementara itu, dalam CPI 2015, ada enam negara yang memiliki skor tinggi. Mereka adalah Denmark (91), Finlandia (90), Swedia (89), Selandia Baru (88), Belanda (87), dan Norwegia (87). Sedangkan negara dengan skor terendah adalah Sudan Selatan (15), Sudan (12), Afghanistan (11), Korea Utara (8), dan Somalia (8).