Kepala Divisi Riset Lembaga Bantuan Hukum Pers, Asep Komarudin, mengatakan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang hingga kini belum dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi pertanyaan besar bagi publik. Sebab, revisi undang-undang tersebut perlu dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan aturan yang tercantum dalam UU ITE saat ini.
“Sampai sekarang UU ITE belum direvisi, bahkan undang-undang ini juga belum pernah dibahas oleh DPR. Padahal, revisi UU ITE agenda prioritas yang masuk dalam Prolegnas 2015. Dan pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi telah menyetujui UU ITE direvisi.” Kata Asep kepada Geotimes di Jakarta.
Menurut dia, molornya pembahasan revisi UU ITE seolah disengaja oleh pemerintah dan DPR. Sebab, yang menikmati keuntungan adanya UU ITE ialah kerap para pejabat publik. Terbukti dari 119 kasus yang terjadi selama ini, 70 persen sebagai pelapor dengan menggunakan undang-undung tersebut adalah pejabat pemerintahan dan anggota dewan.
Mereka (anggota DPR dan pejabat pemerintah) yang melapor menganggap dirinya telah dirugikan oleh laporan-laporan masyarakat yang biasanya melalui peran media sosial. Padahal, masyarakat bertindak sebagaimana haknya memantau kinerja pemerintah dan anggota DPR yang mewakili suara rakyat.
Asep mecontohkan, kasus yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah, misalnya. Aktivis anti korupsi, Ronny Maryanto melaporkan Fadli Zon kepada Panwaslu Kota Semarang lantaran Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra tersebut telah membagi-bagikan uang di Pasar Bulu Semarang pada saat pemilu.
Tidak tinggal diam, Fadli Zon justru melaporkan Rony ke Mabes Polri karena telah melakukan pencemaran nama baik. Alhasil, Rony ditetapkan menjadi tersangka oleh pihak kepolisian. “Fadli Zon melaporkan tuduhannya itu dengan menggunakan pasal 27 yang ada dalam UU ITE.”
Belum lagi, dalam konteks Pilkada serentak yang akan berlangsung pada 9 Desember mendatang. Akibat belum direvisinya UU ITE, partisipasi masyarakat sebagai pemantau kecurangan yang bukan tidak mungkin akan terjadi pada saat berlansungnya pesta demokrasi itu dikhawatirkan akan menurun.
Sebab, warga merasa takut dengan keberadaan pasal 27 yang bias mengkriminalisasi siapa pun yang melaporkan kecurangan.Pasal tersebut mebawa implikasi besar bgi mereka yang lantang bersuara kritis. Saat ini, tidak kurang dari 118 warga telah menjadi korban kriminalisasi pasal karet tersebut. [*]