Pengunjung menikmati panorama pagi hari di Telaga Tambing yang dikelola Balai Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/pd/16
Peran masyarakat, khususnya masyarakat adat, dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem masih rendah. Pasalnya, selama ini mereka masih dipandang sebatas objek yang tinggal menerima setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah.
“Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Pasal 27 ayat 1 dan 2, peran serta masyarakat (adat) hanya diarahkan dan digerakkan pemerintah. Mereka sekadar menjadi objek. Hal ini tidak menyelesaikan persoalan konservasi dan pengelolaan kawasan yang seringkali berakhir menjadi konflik (agraria),” ujar Sekretaris Nasional Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Andri Santosa dalam diskusi bertajuk “Mengefektifkan Peran Masyarakat dalam Konservasi Indonesia ke Depan” di Jakarta, Kamis (14/1).
Undang-undang tersebut selama ini dinilai hanya memberi ruang pada alat-alat negara sebagai pengelola sah areal konservasi dan menutup akses masyarakat terhadap areal konservasi. Cara mengelola seperti ini bisa memicu konflik antara masyarakat dengan pemerintah, karena penunjukan/penetapan sebuah lokasi menjadi kawasan konservasi, berisiko mencerabut akar sosial, budaya, bahkan ekonomi masyarakat adat.
Hasil penelitian yang ditulis Yuliana Cahya Wulan dkk berjudul “Analisis Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003”, misalnya, menunjukkan tingginya persentase konflik di kawasan konservasi. Penelitian tim Center for International Forestry Research (CIFOR) tersebut mengungkap persentase konflik kawasan konservasi di Kalimantan Timur sebesar 40 persen, areal hak penguasaan hutan (HPH) 42 persen, dan areal hutan tanaman industri (HTI) 18 persen.
Konflik tersebut menyebabkan terjadinya pemiskinan sistematis masyarakat (adat) yang berada di sekitar kawasan konservasi. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan konservasi itu sendiri yang mengusahakan terwujudnya sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Untuk membenahi persoalan tersebut, FKKM bersama beberapa organisasi non-pemerintah merekomendasikan kepada pemerintah agar merevisi UU No. 5 Tahun 1990. Beberapa usulannya antara lain menempatkan masyarakat sebagai pelaku dan mitra dalam usaha konservasi atau membangun kerja sama yang lebih seimbang antara pemerintah dengan masyarakat adat.
Selain itu, masyarakat (adat) juga bisa diberi kewenangan penuh mengelola kawasan konservasi dengan berpijak pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012.
“Masyarakat harus diberi peran lebih aktif dalam pengelolaan areal konservasi ke depan. Selain untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat, juga sebagai upaya memberi akses pemanfaatan (hutan/lahan) untuk meningkatkan kesejahteraan mereka,” tambah Andri.