Jakarta, 23 Juli 2024 – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak pemerintah laksanakan Reforma Agraria (RA) di wilayah pesisir dan laut mengingat ini merupakan hal yang krusial terhadap peningkatan taraf hidup nelayan. Hal ini disampaikan dalam diskusi bulanan KNTI tentang “Keamanan Tenurial dan Pembangunan Sosial bagi Nelayan Kecil dan Tradisional di Indonesia”.
Terkait dengan itu, Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI mengatakan perlindungan tenurial nelayan baik di darat maupun di laut menjadi hal yang krusial bagi keberlanjutan usaha perikanan skala kecil. “Tanpa laut dan pesisir maka tidak akan ada nelayan. Jika nelayan terpinggirkan dari wilayah pesisir maka akan berdampak langsung terhadap masalah lain seperti pemenuhan hajat hidup keluarga nelayan, pelanggaran HAM, serta ancaman kedaulatan pangan” ujar Dani.
Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam paparannya menjelaskan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria (RA) masih sangat bias terhadap daratan. “Ketika kita berbicara tentang tanah objek RA, seolah masyarakat hanya berurusan dengan tanah saja dan tidak ada akses ke laut serta wilayah tangkap. Kita tidak hanya membicarakan tentang pemukiman nelayan tetapi juga akses ke laut yang sekarang banyak diprivatisasi oleh para pemilik modal” jelas Dewi.
Dewi menambahkan meskipun Perpres RA no. 62 tahun 2023 sudah mengafirmasi berbagai kelompok masyarakat dan menjadikannya subjek hukum RA, termasuk nelayan kecil dan tradisional, masalahnya adalah objeknya masih bias darat. “Sayangnya, Indonesia masih belum memiliki rencana tata guna tanah secara nasional yang komprehensif untuk mengatur persentase tanah yang digunakan untuk industri, pemukiman, wilayah adat, dan lainnya,” ungkap Dewi.
Pernyataan ini dikuatkan oleh Miftahul Khausar, Pengurus DPP KNTI yang menyoroti berbagai ancaman kepada anggota KNTI di daerah. “Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, penggunaan trawl dan bom ikan, serta alih fungsi lahan mangrove skala besar adalah beberapa ancaman utama yang dihadapi nelayan,” tegas Miftah.
Di sisi lain, Adli Abdullah, Tenaga Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), mengatakan bahwa untuk memastikan hak-hak masyarakat adat termasuk nelayan tradisional tidak terganggu, perlu kerja sama antara pemerintah dan investor serta mempertimbangkan suara-suara masyarakat lokal, dan masyarakat adat terutama nelayan kecil dan tradisional. “selama ini masyarakat adat terpinggirkan ketika ada investor, tanahnya diambil dan diberikan kompensasi yang sangat sedikit. Karena hal tersebut maka ada konsep HPL (hak pengelolaan)” ujar Adli.
Muhammad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menambahkan bahwa sejak tahun 2016 hingga 2024, KKP telah memberikan perlindungan dan penguatan kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang teridentifikasi. “KKP telah mengalokasikan wilayah ruang lautnya dalam rencana tata ruang wilayah provinsi untuk melindungi hak-hak MHA,” kata Yusuf.
Oleh karena itu, KNTI mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak kelola nelayan kecil dan tradisional atas wilayah laut dan pesisir, juga memastikan adanya keterlibatan nelayan dalam setiap perumusan kebijakan dan putusan yang terkait dengan hajat hidup masyarakat pesisir.