Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan lembaga keuangan Jepang (Japan Bank for International Cooperation) membiayai proyek energi berbahan bakar fosil terbesar di Indonesia. Salah satunya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah. Dalam pembangunan itu, teknologi yang digunakan berasal dari Jepang.
Manajer Kajian Lingkungan Walhi Pius Ginting mengatakan, meski PLTU sama-sama menggunakan bahan bakar fosil, kualitas teknologinya berbeda. Hal itu bisa dilihat dari standar emisi yang akan dihasilkan dalam pembangunan proyek PLTU Batang.
“Ada ketidakadilan dari teknologi PLTU Batang dengan PLTU Isogo di Jepang,” kata Pius di Jakarta. “Buktinya, hasil gas belerang oksida (SOx) cukup jauh berbeda. Teknologi Jepang hanya mengeluarkan SOx 10%. Sedangkan PLTU Batang mencapai 105%. Ini berbahaya bagi kesehatan warga dan teknologi ini sangat buruk,” ujar Pius.
Pius menjelaskan, limbah partikel abu hasil pembakaran batubara telah membuat pencemaran udara yang menyebabkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia menurun. Berdasarkan catatan Greenpeace, 6.500 orang di Indonesia meninggal lebih awal karena terpapar polusi yang disebabkan pembakaran batubara.
Apalagi, lanjut Pius, rencana pemerintah Joko Widodo membangun 35 ribu megawatt (MW). Dengan demikian, pemerintahan Jokowi akan meningkatkan emisi CO2 pada tahun 2019 sebanyak 98.3 juta ton. Jumlah ini sama dengan 257% dari jumlah pengurangan emisi rencana aksi nasional nasional gas rumah kaca (RAN-GRK) 2010-2014 dari sektor energi dan transportasi.
Pihaknya menilai, pemerintah secara signifikan menambah konsumsi batubara domestik. Saat ini terdapat 50 buah PLT batubara, mayoritas berlokasi di Jawa dan Sumatera. Total kapasitas PLT batubara adalah 19.404 MW. Penggunaan batubara untuk pembangkit telah tumbuh 9.2% per tahun. “Penambahan PLT batubara akan meningkatkan emisi CO2 dan memperburuk kualitas udara lokal,” tegas Pius.
Tak hanya itu, menurut Pius, dampak pembangunan PLTU Batang cukup besar bagi masyarakat sekitar. Baik dari sektor perikanan, pertanian, dan pembudidaya. “Garam petani menjadi hitam, laut tercemar akibat tongkang batubara yang menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Bahkan petani tidak bisa menggarap lahannya,” ungkapnya.
Sementara itu, Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa, mengatakan 75 lembaga keuangan dunia tidak punya kebijakan terhadap mitigasi perubahan iklim. Hal itu dipertegas dengan lambatnya pembiayaan untuk energi terbarukan. Secara global, lanjutnya, lembaga keuangan hanya membiayai energi itu tidak melebihi 10%.
Pihaknya mendesak lembaga keuangan internasional berkomitmen langsung untuk tidak mendukung pengembangan pembangkit listrik dan proyek pertambangan berbahan bakar fosil. Kemudian, mempublikasikan jumlah dukungan tahunan mereka ke sektor energi. Sedangkan pemerintah Jokowi perlu mengadopsi tujuan untuk mengurangi emisi.