Di era digital sekarang ini, media sosial berperan penting sebagai jembatan partai politik untuk meraih dukungan. Perilaku komunikasi pemilih di media sosial berbeda dengan komunikasi politik konvensial. Media sosial dinilai menjadi media komunikasi baru yang bisa menyumbangkan hal positif, terutama dalam konteks sistem kepartaian di Indonesia.
Gagasan dan visi misi partai juga dinilai bisa direspons publik dengan cepat dengan adanya media sosial. Oleh sebab itu, di era virtual ini kampanye outdoor dinilai kurang efektif untuk menyampaikan gagasan.
“Media sosial mampu menawarkan kecepatan respons audien,” kata Andi Saiful Haq, Direktur Institute for Transformation Studies (INTRANS), di Jakarta (29/1). Saiful Haq juga mengatakan, media konvensional selama ini mendapatkan tantangan dari media sosial yang menyediakan aplikasi periklanan yang menarik.
Berdasarkan hasil riset INTRANS, partai baru seperti Partai Soldaritas Indonesia (PSI) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) mendapat apresiasi cukup positif. Dilihat dari jumlah audien di media sosial, PSI menempati posisi ketiga ditempel ketat oleh PDIP dan Gerindra di urutan pertama.
Jika dilihat dari aktivitas di media sosial, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menempati urutan pertama. PKS fokus di platform Twitter, Facebook, dan Youtube. Jumlah tautan di media sosial tersebut mencapai angka lebih dari 4.000.
Masih menurut survei INTRANS, pencapaian PSI dikarenakan target yang fokus, tema yang terarah dan dikemas menarik. Sedangkan Perindo mendapatkan apresiasi tertinggi di Youtube. Tawaran gagasan dan visi misi partai tersebut cukup medapatkan sambutan.
“PSI dan Perindo mendapat apresiasi dari social audience karena menyajikan konten yang menarik anak-anak muda sebagai pengguna terbesar media sosial,” kata Saiful Haq.
Sumardy Ma, Ketua DPP PSI, menambahkan, media sosial menjadi peluang PSI untuk menggaet pendukung anak-anak muda. “Fokus kami anak muda, karena pengguna medsos di Indonesia sebanyak 80 juta mayoritasnya anak-anak muda,” ujar Sumardy.
Sumardy mengaku selama ini banyak pengurus PSI di daerah yang awalnya masuk PSI karena lewat media sosial seperti Facebook dan Twitter. “Kami memperlakukan medsos kayak warung kopi, sebagai ruang yang asyik buat ngobrol,” katanya. Karenanya dia berharap akses teknologi informasi bisa diakses oleh masyarakat di daerah pelosok. “Pemerintah mesti serius menggarap akses teknologi informasi agar bisa lebih merata.”
Ulin Yusron, praktisi media, mengatakan demokrasi digital perlu didorong untuk menjadi alat kontrol. Hal tersebut dikarenakan media sosial sangat efektif untuk menyebarkan gagasan, perlawanan, dan memobilisasi massa untuk mengkritik sebuah kebijakan.
“Demokrasi digital bisa mengatasi berbagai kisruh yang ada. Contohnya ketika ada kisruh KPK dan Polri, dukungan publik untuk KPK di media sosial sangat besar,” kata Ulin.
Andar Nubowo, praktisi digital dan budaya pop, juga mengatakan, media sosial memiliki daya dobrak luar biasa. Dunia virtual menciptakan angin demokrasi yang semakin mapan. Masyarakat bisa menyampaian kritik, pendapat, dan gagasan sebebas-bebasnya. Media sosial juga bisa menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial.
“Tidak perlu amunisi atau tank untuk menciptakan perubahan sosial. Cukup hanya dengan smartphone,” kata Andar.