Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mempertanyakan langkah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kembali melanjutkan warisan program pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebelumnya, yaitu pembangunan reklamasi Teluk Jakarta dan tanggul raksasa atau Giant Sea Wall.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik mengatakan, permasalahan pembangunan reklamasi Teluk Jakarta muncul mulai dari kerusakan ekosistem yang mengancam keberlangsungan ekonomi nelayan dan lainnya. Ahok kerap mengatakan dia hanya melanjutkan program yang sudah ada sebelum dia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Langkah Ahok ini patut dipertanyakan. Ketika dia tahu bahwa program tersebut lebih banyak menghasilkan kerugian ketimbang manfaat, mengapa pembangunan reklamasi Teluk Jakarta justeru kembali dia lanjutkan dengan memberi izin melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta. Ini analogi keliru dan logika berpikir terbalik,” kata Riza ketika ditemui di Jakarta, Rabu (11/11).
Dia mengungkapkan, dalam melegitimasi pembangunan reklamasi Teluk Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengabaikan hak-hak masyarakat pesisir di Teluk Jakarta. Untuk melaksanakan program pembangunan reklamasi tersebut, Pemprov DKI tidak pernah melakukan upaya sosialisasi atau berkonsultasi dengan masyarakat setempat.
Padahal, dia menambahkan, yang jelas langsung terkena dampak akibat adanya pembangunan tersebut adalah masyarakat yang tinggal di sana, yang umumnya nelayan. Sebanyak 16.965 kepala keluarga nelayan hidupnya bergantung dari sumber tangkapan ikan yang ada di laut Teluk Jakarta.
Menurut dia, Ahok memiliki kepribadian ganda. Di satu sisi, kepemimpinannya ingin memberi terobosan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, dengan menunjukkan bahwa pemerintahannya selama ini bersih dari perilaku koruptif. Namun, di sisi lain, dalam konteks reklamasi Teluk Jakarta, justru Ahok cenderung tidak transparan dalam proses pelaksannnannya.
Karenanya, kata Riza, terobosan baru pemerintahan bersih yang digulirkan oleh Ahok ini seharusnya juga diberlakukan dalam konteks pembangunan reklamasi Teluk Jakarta. Pembangunan reklamasi yang lebih banyak memberikan kerugian seharusnya segera dihentikan.
Terlebih, lanjut dia, dalam peraturan yang berlaku, pembangunan reklamasi tersebut dinilai cacat dari segi hukum. Sebab, reklamasi yang dilakukan di Teluk Jakarta, posisinya berada di laut, bukan di daratan pesisir pantai. Karena itu, tidak cukup hanya bermodal SK Gubernur, tapi harus mendapat izin pembangunan dari tingkat kementerian seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
“Bahkan berdasarkan penuturan Menteri Lingkungan Hidup, pembangunan reklamasi Teluk Jakarta sampai saat ini belum mengantongi analisis dampak lingkungan. Dan kepada Ahok, saya tegaskan untuk mencabut segera SK Gubernur yang sudah ia keluarkan untuk melegitimasi pembangunan reklamasi dan tanggul raksasa ini,” kata Riza.