Sabtu, Maret 15, 2025

Hentikan Perampasan Ruang Hidup Nelayan, Wujudkan Keadilan Perikanan di Indonesia

- Advertisement -

Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) bersama Sajogyo Institute meluncurkan buku Pendokumentasian Wilayah Kelola Perempuan Pesisir, Kekerasan Berbasis Gender, dan Krisis Iklim di 17 Kabupaten/Kota di Indonesia. Buku ini mengungkap berbagai temuan penting mengenai peran perempuan nelayan dalam mengelola sumber-sumber agraria, sistem tenurial perempuan di laut serta mengetahui situasi/tantangan yang dihadapi perempuan nelayan akibat ketimpangan kebijakan dan eksploitasi pesisir. Berikut adalah temuan-temuan KPPI pada riset, Perlindungan Wilayah Kelola, agraria dan sistem tenurial perempuan nelayan:

1. Minimnya kebijakan negara yang memberi perlindungan dan pengakuan pada Perempuan Nelayan berdampak secara signifikan kepada kesejahteraan, keamanan dan pemenuhan kepentingan perempuan nelayan. UU No. 7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam cenderung netral gender, tidak secara eksplisit mengakui peran dan kontribusi perempuan nelayan pada sektor perikanan mengakibatkan perempuan nelayan sulit mengakses program perlindungan sosial kesehatan dan kartu Kusuka karena perempuan tidak dianggap sebagai nelayan

2. Sistem tenurial pesisir merupakan pertemuan antara wilayah daratan dan lautan memilki keunikan dan kompleksitas yang berbeda dengan daratan. Oleh karenanya prespektif pembangunan yang bias darat telah memberikan gangguan signifikan pada sistem tenurial pesisir. Dinamika sistem tenurial pesisir terbentuk dan dibentuk oleh hubungan ekologis dan sosial, unik antara ekosistem pesisir dan laut serta masyarakat nelayan melalui unsur pembentuknya termasuk geografi dan ekosistem setempat, jenis-jenis ikan (spesies) dan musim tangkap, alat tangkap, pasang surut laut serta sosial budaya masyarakat termasuk pembagian peran gender. Riset ini mengusulkan memahami sistem tenurial pesisir berbasis gender dengan memeriksa peran, kebutuhan, dan pengalaman perempuan berbeda dengan laki-laki, termasuk pola kepemilikan, akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya perikanan dan pesisir.

3. Tiga persoalan besar yang dihadapi nelayan berkaitan dengan buruknya sanitasi dan layanan kesehatan, minimnya akses terhadap air bersih, serta buruknya tata kelola sampah dan limbah yang membuat pemukiman nelayan terlihat kumuh, tingginya biaya kebutuhan air bersih dan ancaman kesehatan dari sampah yang tidak terkelola. Kondisi ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat dan lingkungan pesisir terutama perempuan nelayan sebab tiga persoalan tersebut kerap disematkan sebagai tanggung jawab perempuan sehingga menambah beban kerja perempuan nelayan.

4. Pada sebagian wilayah riset ditemukan tingginya beban kerja dan multi peran perempuan nelayan dalam keluarga dan masyarakat menyebabkan perempuan berada dalam situasi tertindas. Perempuan nelayan setiap harinya bekerja lebih lama dibanding laki-laki. Perempuan nelayan bisa bekerja hingga 12-20 jam, mulai dari pukul 02.00 hingga 05.00 pagi untuk menyiapkan keperluan makan termasuk bekal melaut suami dan anak sekolah, lalu dilanjutkan bekerja di sektor perikanan, domestik dan perawatan hingga sore, bahkan malam harinya. Diskriminasi berbasis kelas dan gender telah menciptakan penindasan terhadap perempuan nelayan. Penindasan ini melahirkan kekerasan struktural yang tak hanya terlihat secara fisik, namun juga kekerasan yang laten, tak terlihat sehingga dinormalkan. Kekerasan yang menyebabkan gangguan kesehatan fisik dan juga mental ini terlihat jelas ketika memetakan tubuh perempuan nelayan (body mapping).

5. Krisis iklim memberi dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di pesisir. Nelayan menghadapi kondisi cuaca ekstrim, gelombang tinggi, curah hujan, kondisi ini kerap dihadapi nelayan. Pada 17 wilayah dokumentasi ditemukan terdapat tiga gejala krisis iklim yang intensitasnya meningkat 10-15 tahun terakhir, banjir rob, naiknya suhu udara dan abrasi. Ketiga bencana itu mempersulit kehidupan para nelayan, khususnya perempuan.

6.Pembangunan proyek-proyek ekstraktivisme berdampak luar biasa bagi penghidupan nelayan di pesisir, khususnya perempuan. Salah satunya proyek yang mengusung transisi energi PT IMIP di Morowali. Perubahan lingkungan yang cepat di wilayah IMIP telah terakumulasi berbagai limbah smelter dan pembangkit litsrik tenaga Batubara di desa-desa sekitar. Hal ini menimbulkan rasa tak aman. menghantui hari-hari warga Morowali, khususnya perempuan.

Ketua Umum KPPI, Rosinah, menegaskan bahwa perempuan nelayan memiliki peran krusial dalam keberlanjutan ekosistem pesisir, tetapi sering kali diabaikan dalam kebijakan negara. “Pemerintah harus segera mengakui dan melindungi hak-hak perempuan nelayan melalui regulasi yang lebih inklusif. Tanpa pengakuan ini, mereka akan terus terpinggirkan dan kehilangan ruang hidupnya,” ujarnya.

Perempuan nelayan terlibat di seluruh rantai produksi perikanan, dari menangkap ikan hingga mengolah dan memasarkan hasil laut. Namun, kebijakan agraria dan tata kelola pesisir sering kali mengabaikan peran mereka. Privatisasi pesisir oleh industri dan proyek reklamasi semakin mempersempit ruang hidup perempuan nelayan. Pencemaran air akibat limbah industri juga menurunkan hasil tangkapan dan berdampak langsung pada kesehatan serta keberlanjutan ekonomi keluarga mereka.

Lebih lanjut, Peneliti dari Sajogyo Institute Wida menyoroti bahwa eksploitasi pesisir dan masuknya industri besar tanpa mempertimbangkan dampak sosial-ekologi menyebabkan ketimpangan yang semakin parah. “Perempuan nelayan bukan hanya pekerja, mereka adalah penjaga ekosistem. Ketika ruang hidup mereka dirampas, yang terdampak bukan hanya mereka tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan,” jelasnya.

- Advertisement -

KPPI menegaskan bahwa perlindungan terhadap hak tenurial perempuan nelayan bukan sekadar isu gender, tetapi keberlanjutan ekosistem laut dan ketahanan pangan nasional. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah nyata, ancaman terhadap keberlangsungan hidup perempuan nelayan dan keluarga mereka akan semakin besar. Negara harus segera mengakui dan melindungi hak perempuan nelayan atas wilayah kelola dan ruang hidupnya serta memastikan keterlibatan perempuan dalam perencanaan tata ruang laut dan kebijakan agraria pesisir.

KPPI menyerukan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan pemangku kepentingan lainnya untuk segera mengambil langkah konkret guna melindungi hak-hak perempuan nelayan. “Kebijakan yang inklusif dan berkeadilan akan memastikan kesejahteraan perempuan nelayan sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir bagi generasi mendatang,” tutup Rosinah di Jakarta (12/3/2025).

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.