Gerakan Buruh Indonesia (GBI) mengecam tindakan represif kepolisian terhadap aksi protes buruh yang menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Pihaknya menilai kepolisian melakukan provokasi dan menangkap buruh tanpa alasan yang jelas.
“Kami menilai kepolisian melakukan pelanggaran peraturan Kepala Kepolisian dan UU tentang Serikat Pekerja serta menyampaikan pendapat di muka umum,” kata pimpinan Kolektif Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Michael dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (25/11).
Kejadian bermula ketika buruh dari berbagai federasi berkumpul pukul 7-8 pagi di kawasan East Jakarta Industrial Park (EJIP), Bekasi. Rombongan buruh mulai iring-iringan menuju titik kumpul di perempatan PT Kalbe.
Namun, kata Michael, kelompok ormas menghadang buruh di tengah jalan pada pukul 09.41. Kemudian massa bergerak kembali setelah terjadi kesepakatan dengan kepolisian. Kesepakatan itu adalah buruh bisa melanjutkan perjalanan asal tidak sampai PT Kalbe. Sayangnya, kepolisian ingkar terhadap kesepakatan itu, ujar Michael. Kepolisian mulai melakukan tindak kekerasan pada 10.35. Tak hanya itu, kepolisian melakukan provokasi terhadap gerakan buruh melalui pengeras suara. Mereka mengumumkan aksi protes buruh tersebut ilegal.
“Kepolisian melakukan kekerasan untuk memaksa buruh masuk ke pabrik masing-masing,” katanya. Bahkan kepolisian menuding para buruh hanya dihasut atau diperalat oleh para pengurus serikat pekerja. Kepolisian juga menangkap lima orang buruh tanpa alasan jelas. Mereka melancarkan aksi penangkapan setelah mobil komando datang. Salah satu anggota yang ditangkap tokoh serikat pekerja adalah Nurdin Muhidin. Ia anggota DPRD Kabupaten Bekasi.
Karena itu, GBI mengecam tindakan kepolisian karena mencederai demokrasi. Pertama, serikat buruh memiliki hak untuk mengorganisir pemogokan sebagaimana tertulis dalam UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Sebagai warga negara, buruh juga berhak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana tertuang dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
GBI menilai kepolisian melanggar peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 8 Tahun 2009. Bab III Pasal 10 menyebutkan, “Kepolisian tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan.”
Hari ini GBI melancarkan aksi mogok nasional hari ke-2 untuk menolak PP 78/2015 tentang Pengupahan. PP Itu dinilai menghambat laju pertumbuhan upah minimum. Ini karena peraturan yang bertentangan dengan Undang-undang Tenaga Kerja itu hanya menyebutkan pertumbuhan upah minimum berdasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara, kenaikan harga komponen hidup layak hanya diubah lima tahun sekali.
Michael menegaskan PP Pengupahan memberangus hak buruh untuk merundingkan upah. Sebab, pemerintah menjadi satu-satunya penentu besaran upah minimum. PP Pengupahan sudah menjadi alasan kepala daerah untuk menolak usulan kenaikan UMP dari pemerintah kabupaten/kota dan menurunkannya menjadi hanya 11 persen. Salah satu korban PP Pengupahan adalah usulan UMK Bandung.
Gerakan Buruh Indonesia terdiri dari gabungan berbagai konfederasi dan federasi serikat pekerja di Indonesia. GBI adalah gabungan dari KSPI, KSBSI, KSPSI pimpinan Andi Gani, KASBI, FSPASI, SBSI 1992, Gaspermindo, GOBSI, GSBI.