Dewan Perwakilan Rakyat perlu memperhatikan pola pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sebab, pengelolaan yang ada saat ini sudah semakin semrawut, terutama untuk sektor pertambangan. Untuk membenahi karut marutnya pengelolan sektor pertambangan, DPR perlu membentuk panitia khusus (pansus) terutama untuk menindaklanjuti persoalan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang akan berakhir pada 2021.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan persoalan PT Freeport merupakan yang tidak bisa dikesampingkan oleh anggota Dewan. Sebab, selama ini akibat pemerintah yang ugal-ugalan menyerahkan sumber daya alam Papua itu kepada investor asing, yang banyak dirugikan justeru masyarakat setempat.
“Lingkungan hidup tempat mereka bernaung telah rusak. Selain itu, manfaat yang dirasakan oleh negara dan warga sekitar juga tidak signifikan. Karena itu, membentuk pansus sumber daya alam ini penting menjadi amat penting, sehingga pengelolaan sektor pertambangan ke depan bisa lebih baik dan manfaatnya betul-betul bisa dirasakan oleh masyarakat,” kata Salamuddin ketika ditemui di Jakarta, Kamis (22/10).
Dia menjelaskan, PT Freeport sudah banyak mengeruk keuntungan besar dari Indonesia melalui hasil menambang puluhan tahun di Papua. Misalnya, total investasi yang digelontorkan perusahaan asal Amerika Serikat itu sejak 1967 hingga kini sudah bisa balik modal hanya dalam kurun beberapa tahun mereka beroperasi. Setelahnya, mereka hanya tinggal menikmati hasil keuntungannya saja.
Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan bagi negara. Selama ini keuntungan yang diperoleh Indonesia tidak sebanding dengan kerusakan alam yang ditimbulkan kegiatan pertambangan PT Freeport. Selain itu, dari sisi penerimaan, royalti yang diperoleh negara hanya 1% terbilang sangat kecil. Sejak Juli 2014 naik menjadi 3,75%. Padahal, idealnya di negara-negara lain royalti yang diberikan sedikitnya sebesar 7%.
Lebih lanjut, menanggapi upaya PT Freeport yang meminta perpanjangan kontrak karya kepada pemerintah hingga 2041, menurut Salamuddin, pemerintah jangan sampai memberikan izin. Sebab, jika izin tersebut diberikan saat ini, potensi kerugian yang didapat oleh Indonesia akan semakin besar. Sebaliknya PT Freeport akan mendapat keuntungan yang jauh lebih besar dari saaat ini.
Pasalnya, banyak orang tidak tahu, seolah PT Freeport menambang hanya di satu titik, yakni Grasberg. Padahal, mereka telah mengincar 11 titik tambang baru lainnya, yang disinyalir untuk satu titik tambang, kedalaman, luas dan kapasitasnya sama besarnya bahkan lebih dengan Grasberg yang saat ini sudah habis.
“Jika perpanjangan kontrak baru ini mereka dapatkan, ekspansi PT Freeport tentu akan semakin meluas. Dan 11 lokasi titik tambang baru ini dengan investasi yang mereka gelontorkan akan balik modal hanya dalam waktu beberapa tahun. Sama dengan Grasberg.”
Karena itu, Salamuddin menegaskan, pansus sumber daya alam, terutama menyangkut kontrak karya Freeport, perlu dibentuk. Terlebih ditemukan ada 11 titik lokasi tambang baru. Pengelolaan lebih lanjut yang lebih baik sangat diperlukan untuk kepentingan negara. Ke depan, 11 titik lokasi baru itu tidak perlu lagi seluruhnya dikelola Freeport tapi juga harus melibatkan pihak lain. Jika perlu pemerintah membentuk BUMN baru yang khusus menangani kegiatan operasional di lokasi titik tambang baru tersebut.