Bulan Mei 2019 menjadi ajang penting bagi Kabupaten Siak untuk menunjukkan pada dunia akan keberhasilannya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan di daerahnya. Tepatnya pada 9 Mei, di Bogota, Kolombia, pada The Tropical Forest Alliance Annual Meeting 2019, forum tahunan yang diadakan The Forest Alliance (TFA), Kabupaten Siak sukses unjuk gigi.
Lewat “Inisiatif Siak Hijau”, Bupati Siak H. Alfedri, M.Si–yang juga Sekretaris Jenderal Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)–berbicara di depan forum di Bogota tentang sejumlah inisiatif yang mengatur zonasi tata ruang untuk konservasi, perkebunan, industri, dan pemukiman.
Atas inisiatif-inisiatif tersebut Kabupaten Siak kini telah berhasil mengurangi deforestasi, menggalakkan konservasi dan restorasi gambut, menangani dan mencegah kebakaran hutan dan lahan, mengembangkan ekowisata, serta memanfaatkan pemanfaatan varietas bernilai ekonomi ramah gambut di lahan Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA).
Mengusung tema “A Forest Positive Future: Accelerating the Decade of Delivery”, forum dihadiri oleh 150 delegasi yang terdiri atas para pemimpin global dan regional pemerintah, sektor bisnis, serta masyarakat sipil untuk berdiskusi mengenai percepatan upaya mengurangi deforestasi yang didorong melalui sektor komoditas.
Fokus pertemuan ini adalah bagaimana meningkatkan transformasi kepemimpinan global dan regional serta mempromosikan model bisnis inovatif yang diarahkan untuk memacu aksi nyata dalam agenda hutan dan komoditas. Sebagai salah satu pendiri dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Kabupaten Siak berkesempatan menjadi salah satu narasumber untuk berbagi cerita keberhasilan pendekatan yurisdiksi yang diterapkan langsung oleh sang bupati.
Sebagai kabupaten yang berada di Provinsi Riau, rumah bagi lahan gambut terluas di Indonesia, upaya ke arah itu tentu tidak mudah. Apalagi pada tahun 2015 Siak sempat mengalami kebakaran hutan dan lahan yang hebat yang menyebabkan kerugian tak sedikit. Saat ini keadaannya sudah jauh berbeda.
Masyarakat Siak berkeinginan kuat untuk tidak lagi menebang hutan alam. Mereka mulai mengembangkan produksi melalui intensifikasi lahan dan menghentikan konsesi perkebunan sawit yang baru.
“Bagi kami, lestari adalah lingkungan terjaga dan masyarakat sejahtera, sehingga kolaborasi pemerintah, masyarakat, serta organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan dalam mewujudkan visi Siak Hijau ini,” kata Alfedri.
Sosok Alfedri tidak hanya mencuri perhatian banyak peserta forum tahunan itu dengan “Inisiatif Siak Hijau”-nya, tapi juga karena tanjak yang dililitkan di kepalanya. Dengan mengenakan tanjak, ikat kepala khas suku Melayu Siak, Alfedri juga menceritakan tentang nilai-nilai kearifan yang dianut masyarakat Melayu Siak dalam hal budaya dan lingkungan.
“Memakai tanjak khas Siak adalah bentuk pelestarian budaya khas Melayu di kalangan masyarakat. Sama halnya dengan menjaga alam, bentuk penghargaan alam sebagai bagian kesatuan ekologis dengan manusia.”
Cerita sukses Kabupaten Siak memukau Ivan Duque Marquez, Presiden Kolombia. “Kolombia dan Kabupaten Siak memiliki komitmen yang sama kuat untuk menjaga dan menghormati alam,” ujar Presiden Ivan Duque. Bupati Alfredi tak ayal segera memberikan tanjak khas Siak kepada Presiden Ivan Duque sebagai tanda kewibawaan dan kearifan orang Melayu.
Pada kesempatan langka tersebut Alfredi juga menyampaikan bahwa Indonesia siap menjadi tuan rumah pelaksanaan Tropical Forest Alliance (TFA) internasional tahun 2020, dengan begitu dunia bisa langsung melihat pelaksanaan Siak Hijau yang sedang berjalan,” kata Alfedri menegaskan.
Seperti diketahui, Kabupaten Siak memiliki kekayaan gambut terbesar di Pulau Sumatera dengan luas wilayah mencapai 57% dari total wilayah Kabupaten Siak dan 21%-nya merupakan gambut dengan kedalaman 3-12 meter
Hutan di Siak adalah rumah bagi harimau Sumatera, gajah, beruang matahari, burung, reptile, dan berbagai jenis flora dan fauna hutan tropis. Namun, pada tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan menimpa Kabupaten Siak sehingga menimbulkan banyak kerugian mulai dari gangguan kesehatan, kerugian ekonomi, hilangnya keanekaragaman hayati, serta emisi karbon dioksida.
Sejak itu, pada tahun 2016, Kabupaten Siak bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil menganalisa penyebab terjadinya kebakaran dan meninjau peraturan daerah untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Pada tahun 2017, bekerja sama dengan swasta dan pengusaha kecil, Kabupaten Siak menerapkan Good Agriculture Practice (GAP) untuk pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan.
Pada tahun 2018 Pemerintah Kabupaten Siak menerbitkan Peraturan Bupati No. 22/2018 tentang Inisiatif Siak Hijau yang memuat pengaturan zonasi tata ruang untuk konservasi, perkebunan, industri, dan pemukiman. Peraturan ini menjadi pedoman bagi pemerintah daerah Kabupaten Siak, masyarakat, dan pihak swasta menuju pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat Siak.
Beberapa perusahaan seperti Musim Mas, Cargil, Neste, GAR, Pepsico, Unilever dan Danone yang difasilitasi oleh CORE (aliansi sektor swasta di Siak) juga sudah menunjukkan ketertarikannya untuk mendukung Inisiatif Siak Hijau. Para perusahaan ini menyatakan bahwa kerja gotong royong bisa mendukung pelaksanaan komitmen NDPE (No-Deforestation, Peat, and Exploitation) yang lebih efektif, khususnya pada 4 topik utama: deforestasi, restorasi gambut, dukungan pada pekebun dan HAM.
Komitmen swasta dan upaya kolaborasinya untuk empat pilar tersebut akan diarusutamakan dengan dokumen pembangunan Siak Hijau dan proses pengambilan keputusan multipihak yang melibatkan pemerintah dan masyarakat sipil.
Bersama koalisi organisasi masyarakat sipil yang bernama Sedagho Siak, peraturan ini sedang diterjemahkan menjadi Peta Jalan Siak Hijau yang akan menjadi payung untuk berbagai aktivitas di Siak nantinya.
“Dengan adanya kebijakan ini, angka kebakaran hutan dan lahan di Siak semakin turun dari tahun ke tahun. Dari 389 titik kebakaran di tahun 2015, kami berhasil menurunkan menjadi 174 titik di tahun 2018. Harapan kami, model gotong royong untuk visi Siak Hijau ke depan bisa ditularkan pada kabupaten lainnya melalui jejaring Lingkar Temu Kabupaten Lestari,” kata Bupati Alfedri menegaskan.
Seputar LTKL
Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) merupakan forum kolaborasi pemerintah kabupaten untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan dampak nyata. Sebuah upaya pembangunan yang menyeimbangkan ekonomi, sosial, dan pelestarian alam.
Pendekatan LTKL berfokus pada tata kelola lahan yang baik dan bertanggung jawab di tingkat kabupaten. Untuk menghadapi tantangan pembangunan berkelanjutan, LTKL mengutamakan kolaborasi semua pihak. Sinergi antar dan di dalam pemerintah kabupaten anggota menjadi kunci utama. Para kabupaten anggota didukung kapasitas teknis dan keahlian melalui kolaborasi dengan mitra pembangunan, seperti lembaga swadaya masyarakat serta sektor swasta.
LTKL juga membentuk sekretariat untuk melancarkan koordinasi serta sinergi antar kabupaten maupun dukungan para mitra. LTKL diinisiasi oleh 8 kabupaten dari 6 provinsi di Indonesia. Pada bulan Desember 2016, perwakilan 8 kabupaten anggota LTKL bersama jejaring mitra pembangunan serta Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), menggelar Forum Komunikasi Nasional pertama untuk meresmikan pendiriannya. Hingga Februari 2019, 11 kabupaten telah bergabung menjadi anggota LTKL.