Pemerintah terus berupaya menggenjot ekspor Indonesia ke mancanegara, salah satunya dari hasil produk kayu. Demi mencapai peningkatan produk yang dihasilkan dari hutan itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 89 Tahun 2015. Isinya tentang penghapusan 15 jenis produk mebel dan perabotan yang tidak perlu mengantongi sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) ketika mengekspor.
“Permendag ini sudah harus secepatnya direvisi. Karena, dengan membolehkan ekspor tanpa memenuhi kewajiban SVLK, secara fundamental telah melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu Indonesia,” kata peneliti dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Muhamad Kosar saat ditemui Geotimes di Jakarta, Kamis (10/3).
Dia mengungkapkan, sejak peraturan ini diberlakukan pada 2015, penggunaan dokumen Deklarasi Ekspor kerap dijadikan celah oleh sekelompok kecil perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI). Mereka juga terlampau mendominasi. Padahal penggunaan dokumen Deklarasi Ekspor diperuntukkan hanya bagi industri kecil dan menengah.
Kosar menambahkan, dari hasil peneltian yang dilakukan pihaknya, perusahaan-perusahaan hitam banyak melakukan ribuan pengapalan kayu, dengan tujuan ekspor yang jumlahnya bernilai miliaran rupiah. Mereka terdaftar sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industri kehutanan. Padahal perusahaan-perusahaan tersebut nyatanya tidak beroperasi layaknya industri yang memiliki kegiatan pengolahan atau pabrik. Perusahaan itu hanya berperan sebagai pedagang atau broker bagi produk kayu yang diproduksi di tempat lain.
“Perusahaan-perusahaan hitam ini menjual dokumen Deklarasi Ekspor kepada perusahaan lain yang tidak memenuhi persayaratan dan tidak bersertifikat SVLK, yang seharusnya tidak bisa mengekspor. Bahkan, perusahaan yang melakukan ekspor ini celakanya tidak terdaftar di instansi pemerintah terkait,” ungkap Kosar.
Kosar mencontohkan, dalam penelitiannya, dia menemukan beberapa perusahaan yang teridentifikasi melakukan berbagai pelanggaran ini. Salah satunya adalah CV V&V Logistic. Sebuah perusahaan eksportir produk furnitur berbahan kayu seperti meja, kursi, kabinet, dan lemari. Tempat kegiatan industri ini bukan pabrik, melainkan hanya sebuah rumah yang beralamatkan di Kompleks Perumahan Puri Anjasmoro A-3 No 7 Semarang, Jawa Tengah.
Salah satu pembeli terbesar CV V&V Logistic adalah Nadeu Corporation, perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat. Berdasarkan data ekspor yang menggunakan fasilitas dokumen deklarasi ekspor, CV V&V Logistic merupakan pengguna dokumen deklarasi ekspor terbanyak. Tercatat sepanjang Januari sampai November 2015 jumlahnya mencapai 1.305 dokumen.
Ketika dikonfirmasi ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, CV V&V Logistic ternyata tidak terdaftar sebagai badan usaha di instansi pemerintah tersebut. Ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki tanda daftar perusahaan. Dan bukan tidak mungkin banyak perusahaan-perusahaan hitam semacam ini juga berada di daerah lain di Indonesia yang hingga kini masih leluasa beroperasi.
Sementara itu, Kepala Kampanye Hutan Environmental Investigation Agency (EIA), Faith Doherty, mengatakan, Permendag No. 89 Tahun 2015 secara struktural dan teknis telah melanggar tujuan dan mekanisme dari pemberlakuan SVLK, dan perjanjian kerjasama Uni Eropa-Indonesia yang termaktub dalam Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang telah dibangun dalam satu dekade.
“Peraturan ini harus segera direvisi. Jika tidak, ini akan mengganggu ruang lingkup dan tata waktu pelaksanaan VPA. Akibatnya, besar kemungkinan akan muncul permasalahan baru, yakni keberatan dari pihak Uni Eropa terhadap Indonesia. Pada akhirnya, dirasa perlu adanya negosiasi ulang VPA,” kata Doherty.