
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menemukan buruknya tata kelola dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan Indonesia. Berdasarkan riset Fitra di beberapa daerah, perencanaan dana alokasi anggaran pencegahan kerusakan hutan masih sangat rendah. Rata-rata di bawah 1% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Ahmad Taufik, Koordinator Bidang Data dan Informasi Seknas Fitra, mengatakan, rendahnya alokasi anggaran di sektor kehutanan dipengaruhi beberapa hal. Pertama, sektor kehutanan tidak dijadikan prioritas oleh kebanyakan pemerintah daerah.
“Sektor kehutanan paling banyak memberikan kontribusi tinggi terhadap pendapatan negara. Tapi pada saat dikembalikan di belanja, sektor ini kurang mendapat prioritas,” kata Taufik di Jakarta, Jumat (25/9)
Tak hanya itu, urusan sektor hutan dan lahan juga tidak dimandatkan dalam konstitusi atau undang-undang. Berbeda dengan sektor lain, misalnya seperti anggaran pendidikan yang dimandatkan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Begitu pula di sektor kesehatan sebesar 10% dari APBN di luar gaji pegawai. Anggaran yang minim tersebut tidak diikuti dengan serapan belanja daerah yang maksimal.
Parahnya, tambah Taufik, belanja pengelolaan hutan dan lahan di tingkat provinsi separuhnya untuk belanja bantuan sosial dan hibah. Belanja bantuan dan hibah sebesar 10,2%. Bahkan alokasi belanja pengelolaan hutan dan lahan di tingkat provinsi lebih rendah dibandingkan kabupate,n yakni 5,1%.
Selama tiga tahun terakhir (2012-2015), secara spesifik tidak ada anggaran khusus di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ihwal upaya pencegahan kebakaran dan kerusakan hutan. Upaya penanganan kebakaran hutan banyak dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Padahal lembaga ini tidak terlalu spesifik dan paham masalah hutan. “Tren alokasi anggaran Rp 50 miliar per tahun tampak tidak efektif dan justru berbasis proyek penanggulangan bencana,” ungkap Taufik.
Atas situasi itu, Seknas Fitra merekomendasikan tiga hal kepada pemerintah. Pertama, pemerintah Joko Widodo perlu memprioritaskan perencanaan dan alokasi anggaran pencegahan kebakaran hutan. Kedua, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu meningkatkan peran pemerintah daerah untuk mengatasi kondisi penebangan hutan dan kemerosotan hutan yang belum membaik. Terakhir, lanjut Taufik, perlu adanya perbaikan dalam tata kelola anggaran pencegahan dan penanggulangan kehutanan yang lebih transparan dan akuntabel.
“Buruknya tata kelola akan menambah panjang masalah yang bakal dihadapi di sektor kehutanan. Perbaikan tata kelola sektor ini bisa dimulai dengan membuka akses informasi, melibatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan, dan pengawasan penegakan hukum. Kelalaian proses tata kelola juga bisa memicu konflik agraria,” kata Taufik.[*]