Kamis, April 25, 2024

Bom Waktu Revisi UU KPK

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam LSM Anti Mafia Hukum melakukan aksi damai menolak revisi RUU KPK di depan gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10). Mereka menolak Revisi RUU nomor 30 tahun 2002 yang dianggap melemahkan tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam LSM Anti Mafia Hukum melakukan aksi damai menolak revisi RUU KPK di depan gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15

Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih menunda revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Penundaan ini terjadi karena banyaknya desakan masyarakat yang tidak ingin KPK dilemahkan. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga telah meminta kepada para wakil rakyat di Senayan itu untuk menunda pembahasan revisi UU tersebut sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

“Dalam waktu menandatang, ini bisa menjadi bom waktu bagi KPK. Karena ini memang sangat politis. Ketika ada pemilihan pimpinan KPK baru, bukan tidak mungkin muncul lagi revisi undang-undang KPK,” kata Surya Tjandra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, ketika ditemui Geotimes di Jakarta.

Dia menjelaskan, sebelum munculnya perdebatan panas soal revisi UU KPK, sebenarnya yang justru ingin direvisi adalah undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada undang-undang ini sudah muncul adanya gagasan revisi terkait tentang penyuapan. Di situ akan dibedah lebih luas definisi ihwal pemberi suap dan yang menerima suap. Perluasan definisi ini penting untuk menjaring perilaku koruptif lebih banyak lagi. Dan lembaga pemberantasan korupsi karenanya dituntut agar bekerja lebih aktif.

“Undang-undang ini (Tipikor) sebenarnya yang ditawarkan waktu itu. Tetapi, tiba-tiba berubah malah kelembagaannya, yakni KPK. Ini tentu sangat problematis,” ujarnya.

Menurut Surya, revisi UU KPK memiliki potensi yang bisa jadi baik, jikalau memang unsur yang diubah bukan untuk melemahkan. Tetapi, menjadi problem besar jika perubahan undang-undang justru ke arah sebaliknya. Sebab, sekarang ini hanya KPK yang menjadi ujung tombak dalam hal pemberantasan korupsi.

Namun begitu, kata dia, jika melihat aturan baru yang ada pada revisi UU KPK, ihwal keterlibatan dewan pengawas dalam kegiatan operasional seperti penyadapan dan penyitaan, tentunya ini akan mempengaruhi kinerja KPK. Birokrasi yang panjang dan berbelit-belit ini sudah tentu akan menghambat kinerja lembaga super body itu. Praktis, kinerja KPK akan dibatasi melalui serangkaian sistem yang struktural.

Kondisi demikian, menurut Surya memang sangat politis. Sebagai lembaga penegak hukum, dalam menyikapi agenda politk semacam ini pada akhirnya membuat KPK mau tidak mau harus terjun juga berpolitik. Walau begitu, KPK harus tetap memegang teguh prinsip-prinsip hukum.

“Memang semestinya KPK tidak boleh berpolitik. Namun, melihat situasi dan kondisi Indonesia sekarang ini akhirnya tak bisa dipisahkan. KPK harus mulai sadar politik. Tapi tetap harus kembali pada hukum,” kata Surya.

Saat ini, setiap tahun kasus korupsi yang masuk ke KPK jumlahnya mencapai ribuan. Dari jumlah itu, kasus yang tertangani hanya sekitar 400 kasus. Artinya, KPK hanya mampu menyelesaikan 50 kasus dalam sebulan. Karena itu, jika memang masih diperlukan adanya revisi UU KPK, seharusnya poinnya adalah memperkuat, bukan melemahkan.

Salah satu cara memperkuat KPK adalah dengan membangun kantor perwakilan KPK di tiap wilayah Indonesia. Adanya kantor perwakilan ini dirasa sangat penting, agar kasus korupsi yang masuk ke KPK bisa lebih banyak lagi yang ditangani. [*]

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.