Pasca terjadinya reformasi di tanah air, politik dan ekonomi Indonesia mengalami pergeseran signifikan. Hingga kini, reformasi yang berjalan lebih dari 15 tahun dianggap telah kebablasan. Tidak lagi sesuai dengan amanah yang terkandung dalam Pancasila. Akibatnya, Indonesia saat ini berubah ke arah liberal. Liberalisasi terjadi bahkan tidak hanya di satu sektor, melainkan mencakup ke segala aspek.
Demikian dikatakan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso dalam diskusi bertema “TNI Antara Idealisme dan Realitas di Era Reformasi” di Jakarta, Jumat (4/4).
Menurut Djoko, liberalisasi yang semakin marak akan mengancam Indonesia dari segi kedaulatan sebuah negara. Sekarang ini ancaman yang terjadi memang bukan berupa perang secara fisik. Tetapi, perang yang nyata timbul adalah maraknya invasi bangsa asing yang masuk ke Indonesia melalui peran korporasi besar yang mereka miliki. Di banyak kasus, seringkali korporasi berperang justru terhadap rakyat.
“Kalau kita lihat fenomena belakangan ini, banyak korporasi yang berperang dengan masyarakat. Mereka merampas hak-hak masyarakat untuk kepentingannya. Bahkan korporasi tersebut kerap memanfaatkan aparat, baik polisi maupun TNI, untuk memerangi mereka,” tuturnya.
“Hal ini tentu sangat merugikan. Yang lebih celakanya lagi, tak jarang negara bahkan kalah oleh korporasi.”
Djoko mencontohkan peperangan nyata antara korporasi dengan rakyat, dan negara kalah dalam hal ini. Salah satunya pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung. Bagi publik kebanyakan, pembangunan kereta api cepat yang menelan dana hingga US$ 5,5 miliar atau setara Rp 76,4 triliun itu sungguh tidak memiliki urgensi. Pembangunan tersebut merupakan murni kepentingan investasi swasta yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari Indonesia.
Tak hanya itu, lanjut Djoko, bahkan untuk melancarkan proyek mercusuar tersebut, pemerintah cenderung mengalah. Itu terlihat dari banyak lahan milik negara yang diambil peruntukkannya demi kepentingan pembangunan kereta api cepat. Belakangan, investor kereta api cepat turut meminta jaminan kepada pemerintah Indonesia, yang sebelumnya tidak ada klausul dalam megaproyek tersebut.
Karena itu, Djoko menilai, untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan tanah air diperlukan tekad yang kuat, komitmen kebangsaan, dan persatuan. Tentunya ketentuan ini harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa. Tujuannya untuk menyelamatkan kedaulatan Indonesia yang saat ini dinilai sudah dikuasai asing.