Jumat, Maret 29, 2024

Timbul Pasal Baru, Revisi UU Terorisme Membingungkan Publik

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Tragedi teror di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (14/1). (Andrey Gromico/The Geotimes)
Tragedi teror di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (14/1). (Andrey Gromico/The Geotimes)

Polemik revisi Undang-undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terus menjadi perdebatan oleh sejumlah kalangan. Permasalahannya, dalam undang-undang tersebut, timbul pasal-pasal baru yang dinilai justru akan membingungkan publik. Salah satunya mengenai proses peradilan dalam acara hukum pidana.

Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan draf UU Terorisme yang akan direvisi pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat memperkenalkan istilah baru dalam proses peradilan pidana. Yakni adanya kewenangan penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme. Aturan ini muncul pada pasal 28A. Kewenangan dalam meneliti berkas perkara tindak pidana terorisme ini bakal dimiliki oleh pihak Kejaksaan.

“Padahal, kewenangan Kejaksaan dalam peradilan pidana adalah hanya melakukan penuntutan. Walau demikian, meneliti berkas perkara oleh Kejaksaan dimungkinkan hanya pada tindak pidana tertentu. Itu pun sifatnya untuk memenuhi asas peradilan yang cepat,” kata Bonar di Jakarta, Kamis (3/3).

Menurut Bonar, draf revisi Undang-Undang Terorisme seharusnya tidak lagi memberikan kewenangan baru semacam itu kepada Kejaksaan. Pasalnya, hal tersebut berpotensi terjadinya tumpang tindih kewenangan antara Kkejaksaan dan Kepolisian. Jika memang diperlukan penambahan kewenangan bagi Kejaksaan, sifatnya lebih tepat pada aspek penuntutan, bukan pemeriksaan berkas perkara.

“Kewenangan meneliti berkas perkara oleh Kejaksaan berpotensi melemahkan kinerja Kepolisian dengan seperangkat kewenangannya yang melakukan penyidikan hingga berkas-berkas tindak pidana dinyatakan lengkap (P21),” ujar Bonar.

Selain itu, dia menambahkan, permasalahan lainnya adalah mengenai praktik penyadapan. Pelaksanaan penyadapan yang hanya wajib dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan Kementerian Komunikasi dan Informasi dianggap tidak tepat. Hal tersebut menimbulkan tidak adanya kontrol dari pihak eksternal terhadap kewenangan lebih yang dimiliki oleh penyidik dalam menindak tindak pidana terorisme.

Belum lagi izin penyadapan yang harus mendapat persetujuan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi. Pertanggungjawaban praktik penyadapan melalui suatu kementerian tidak sama sekali relevan. Sebab, Kemenkominfo bukanlah institusi yang mempunyai kompetensi untuk mengkualifikasi sah atau tidaknya suatu penyadapan.

“Jadi, sudah sangat tepat apabila pemberitahuan atau perintah penyadapan tetap berasal dari Pengadilan Negeri,”  kata Bonar.

Lebih lanjut, Bonar mengingatkan, ke depan pemerintah dalam merevisi suatu undang-undang, apalagi mencakup tindak pidana seperti terorisme, misalnya, seharusnya melampirkan naskah akademik. Naskah akademik ini penting untuk mengetahui tingkat efektivitas dari adanya perubahan aturan tersebut saat dilaksanakan.

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.