Usulan untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 di Parlemen disebut tak perlu ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pasalnya, undang-undang tersebut masih cukup relevan terhadap situasi dan kondisi sosial politik di Indonesia saat ini.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Patrice Rio Capella, mengatakan Konstitusi Republik Indonesia ini sudah diamandemen sebanyak empat kali sejak reformasi. Dan saat ini diusulkan untuk diamandemen kembali.
“Namun, tidak semudah itu. Untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 perlu dilakukan kajian yang mendalam. Sebab, ini menyangkut dengan bangsa dan negara. Tak bisa seenaknya hanya karena persoalan politik semata,” kata Patrice di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (2/7).
Munculnya wacana amandemen di Parlemen ini karena sebagian kalangan di sana merasa perkembangan politik di Indonesia saat ini, terutama mengenai sistem Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Presiden disebut menciptakan demokrasi yang liberal. Karenanya, patut UUD 1945 patut diamandemen.
Namun, mengenai persoalan politik terkait pemilihan umum, menurut Patrice, tak perlu sampai mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Persoalan demikian dapat diselesaikan pada level undang-undang saja.
“Ini masalah negara bukan masalah selera seseorang. Kalau amandemen itu hanya karena Pilkada dan Pilpres, itu kan bisa diselesaikan dengan revisi undang-undangnya saja, bukan amandemen UUD 1945,” katanya.
Dia menjelaskan, untuk mengamandemen UUD 1945 perlu melalui tiga tahapan. Pertama, amandemen harus didasari dengan hal-hal krusial bagi bangsa dan negara. Ini menyangkut tata negara dan hal-hal yang terkandung di dalamnya. Kedua, harus dilakukan uji publik untuk melihat respon masyarakat serta melihat kecenderungan para akademisi menilai amandemen UUD 1945 ini. Ketiga, tidak kalah penting, perlu mempersiapkan naskah akademik.
Menurut Patrice, ketimbang mengamandemen UUD 1945, lebih baik mendorong revitalisasi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Indonesia saat ini tengah krisis identitas, sehingga keberadaan GBHN perlu digalakkan kembali. Meski saat ini telah ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Adanya haluan negara tetap diperlukan untuk melengkapi keduanya itu.
“Yang saat ini dibutuhkan oleh kita adalah GBHN. Dalam merevitalisasinya pun tidak mempengaruhi sistem tata negara. Walau ada RPJMN dan RPJP, tapi GBHN itu sangat penting karena RPJMN/RPJP itu lebih kepada pembangunan saja, beda dengan GBHN,” katanya. [*]