Oleh Rheny Pulungan*
Duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukamaran, bersama enam terpidana lain dieksekusi mati pada dini hari Rabu 29 April 2015.
Ada banyak hal yang masih belum selesai dari kisah duo Bali Nine ini. Setelah gugatan atas putusan penolakan grasi yang diajukan Chan dan Sukamaran kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara, kedua terpidana dan kuasa hukum mereka melakukan upaya hukum lain. Upaya hukum pertama adalah laporan ke Komisi Yudisial atas dugaan suap dan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada 13 Februari 2015.
Upaya kedua adalah gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstituti yang mencakup dua hal. Gugatan pertama mengenai undang-undang yang mencegah warga asing mengajukan kasus di Pengadilan Mahkamah Konstitusi. Gugatan kedua mempertanyakan kewenangan Presiden untuk mempertimbangkan permohonan grasi secara teliti.
Upaya hukum yang belum selesai ini, terutama dugaan suap oleh hakim yang menangani kasus kedua terpidana, menjadi pemberitaan hangat hampir seluruh media massa di Australia, seperti Fairfax Media dan News Corp Australia. Media menyuarakan opini publik yang menyayangkan mengapa proses eksekusi tak bisa menunggu sampai kedua upaya hukum sudah final.
Publik di Australia juga meneriakkan protes terhadap adanya dugaan suap, terlebih setelah mendengar kutipan pernyataan dari salah satu mantan pengacara Chan dan Sukamaran, Muhammad Rifan, yang menyatakan hakim pernah meminta suap sebesar AUS $ 130.000 atau sekitar Rp 1,3 miliar.
Pemberitaan tidak sedap ini semakin memperburuk pandangan publik Australia terhadap legalitas dari eksekusi pidana mati terhadap Chan dan Sukamaran.
Hal lain yang menjadi topik hangat di Australia adalah pandangan bahwa Indonesia melakukan standar ganda dalam hal hukuman mati. Pandangan ini berdasarkan pada pengajuan grasi pemerintah Indonesia terhadap warga negaranya pada banyak kasus tenaga kerja wanita asal Indonesia yang dijatuhi hukuman mati oleh Arab Saudi.
Indonesia tahu persis bahwa melindungi warga negara di negara lain merupakan kewajiban setiap pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak lain bertujuan menjamin hak-hak terdakwa asal Indonesia dilindungi oleh pemerintah Arab Saudi.
Meski hasil keputusan MK tak akan bisa mengembalikan nyawa delapan terpidana mati, hal tersebut dapat menjadi pedoman bagi pemberian grasi di masa datang.
Sebagian masyarakat menganggap jika Presiden Jokowi mengubah putusan mati para terpidana narkoba, hal tersebut dapat memberikan kesan bahwa kita lemah sebagai bangsa dan bisa diatur oleh negara lain.
Argumen ini sebenarnya mudah dibantah. Dengan meringankan hukuman dan menyelamatkan nyawa para terpidana mati yang sudah menjalani proses rehabilitasi, Presiden atas nama bangsa Indonesia dapat menunjukkan pada dunia bahwa proses rehabilitasi di dalam lembaga pemasyarakatan telah berhasil mengubah watak dan perilaku terpidana.
Lembaga pemasyarakatan telah berhasil mengemban fungsinya sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi perbuatan mereka.
Sangat disayangkan ketiadaan rasa belas kasihan dari Presiden setelah begitu banyak permohonan yang disampaikan baik oleh pemerintah Australia, keluarga terpidana, dan anggota masyarakat lainnya.
Presiden Jokowi diberitakan tidak membaca dan memeriksa secara teliti pengajuan grasi yang diajukan kedua terpidana. Perilaku baik dan pengaruh positif yang mereka tunjukkan selama di LP Kerobokan tidak menjadi pertimbangan sama sekali untuk meringankan hukuman.
Usai eksekusi mati tentu saja membawa konsekuensi. Pada Rabu pagi 29 April 2015 Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengumumkan akan menarik duta besarnya dari Jakarta. Hal ini memang bukan kejadian pertama, tetapi keputusan menarik dubes akan berpengaruh negatif terhadap hubungan bilateral kedua negara.
Kita pun masih menunggu kelanjutan pernyataan Mahkamah Konstitusi yang akan mendengarkan permohonan uji materi yang dilayangkan kuasa hukum Chan dan Sukamaran mengenai penolakan grasi oleh Presiden. Meski hasil keputusan MK tak akan bisa mengembalikan nyawa delapan terpidana mati yang dieksekusi pada Rabu pekan lalu, hal tersebut dapat menjadi pedoman bagi pemberian grasi di masa datang.
Pedoman bagi siapa pun yang menjadi presiden untuk dapat memberikan pertimbangan yang saksama dalam memberikan grasi dengan memperhatikan aspek hukum dan non-hukum demi mewujudkan rasa keadilan bagi terpidana, keluarganya, dan masyarakat secara luas.
*Bekerja di Melbourne, menyelesaikan doktoral hukum di Universitas Melbourne, Australia.