Setara Institute mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk membentuk tim independen dan mempunyai kredibelitas yang tinggi dalam menyelesaikan kasus pelangaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu.
“Rekonsiliasi dijalankan oleh satu tim independen dan orang yang mempunyai kredibelitas tinggi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Bukan pemerintah sendiri yang membentuk tim rekonsiliasi. Alat negara (Kejaksaan Agung dan Menkopolhukam) tugasnya hanya memprakarsai dan memfasilitasi bukan membentuk tim gabungan dalam rekonsiliasi, prinsipnya seperti itu,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Hendardi di Jakarta, Kamis (9/7).
Gagasan rekonsiliasi, kata dia, seharusnya datang dari korban pelanggaran HAM bukan dari gabungan alat negara. Digunakan konsep rekonsiliasi atau tidak, pemerintah harus mengungkap terlebih dahulu fakta sehingga bisa membuat keputusan.
“Tim gabungan alat negara ini, belum mengungkap fakta pelangaran HAM sudah memilih rekonsiliasi. Bagaimana caranya komunikasi dengan korban pelanggaran HAM jika keputusan seperti itu,” kata Hendardi.
Kalau Jaksa Agung mau menyelasaikan kasus pelanggaran HAM secara cepat maka korban juga membutuhkan hal serupa yakni penyelesaian yang cepat. Namun penyelesaian yang cepat diprakarsai Jaksa Agung tersebut konyol dan tidak dapat diterima para korban.
Karena itu, Hendardi menyarankan, kepada Jaksa Agung untuk membuka kembali berkas pada periode pemerintahan Susuilo Bambang Yudhoyono. Sebab pada saat itu, pegiat HAM, Elsam, Kontras, dan Imparsial membahas proses tersebut begitu panjang bersama Watimpres Albert Hasibuan.
“Saya kira, konsep waktu itu jauh lebih matang walaupun terbentur dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan lebih bagus konsepnya dibandingkan dengan konsep Jaksa Agung HM Prasetyo dan Menkopolhukam Tedjo,” kata Hendardi.
Rohaniwan Franz Magnis Suseno mengatakan, suatu rekonsiliasi yang dibuat tanpa melibatkan para korban dinilai tak memiliki makna yang besar. Dipaksakan membuat rekonsiliasi lebih buruk dibandingkan tidak membuat kebijakan apapun.
“Jadi kalau cepat-cepat mau selesai maka saling menerima, memaafkan dan korban dianggap bersalah. Itu sama saja dengan penghinaan bagi korban pelanggaran HAM,” kata Franz.[*]