Sabtu, Oktober 5, 2024

Tabir Demokrasi Liberal

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Dani Rodrik/IAS School of Social Science
Dani Rodrik/IAS School of Social Science

Oleh Dani Rodrik*

Demokrasi liberal muncul karena tak adanya kelompok minoritas didiskriminasikan kelompok mayoritas.

Sekitar dua dekade lalu analis politik Fareed Zakaria menulis The Rise of the Illiberal Democracy, yang mengangkat kemunculan pemerintahan-pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan bebas dan adil, namun sering tak mengindahkan supremasi hukum dan kebebasan sipil, serta melanggar hak asasi warga negara.

Sejak artikel Zakaria muncul, hal tersebut menjadi lumrah. Menurut Freedom House, lebih dari 60 persen negara di dunia adalah negara demokratis yang mengadakan pemilihan secara rutin. Jumlah tersebut meningkat dari sekitar 40 persen di akhir 1980-an. Tapi kebanyakan negara demokratis itu gagal memberikan perlindungan hukum yang setara.

Biasanya kelompok-kelompok minoritas (etnis, agama, bahasa, atau daerah) yang dirugikan oleh kebijakan tidak liberal. Namun pihak-pihak yang menentang pemerintah juga berisiko mengalami sensor atau penahanan.

Demokrasi liberal bertumpu pada tiga hak: hak milik, hak politik, dan hak sipil. Hak milik melindungi pemilik dan pemodal dari perampasan. Hak politik memastikan kelompok yang memenangkan pemilihan dapat menentukan kebijakan yang dikehendaki – selama tak melanggar dua hak lainnya. Sementara hak sipil menjamin perlakuan hukum dan akses yang setara pada layanan publik seperti pendidikan.

Penerima hak milik dan hak politik kedudukannya kuat. Hak milik merupakan kepentingan kalangan elite – pemilik dan pemodal. Jumlah mereka sedikit, tapi dapat mengerahkan sumber daya materi untuk memperoleh tujuan. Mereka bisa memindahkan dana yang dimiliki ke tempat lain, atau tidak menanamkan modal.

Hak politik merupakan kepentingan massa berkelompok –kelas pekerja atau etnis mayoritas, tergantung dari struktur dan pengelompokan dalam masyarakat. Anggota masyarakat mayoritas kurang berpunya, tapi menang soal jumlah. Mereka dapat mengancam kalangan elite dengan pemberontakan dan perampasan.

Di sisi lain, penerima manfaat hak sipil biasanya kalangan minoritas yang tak punya kekayaan ataupun jumlah. Suku Kurdi di Turki, kaum Roma di Hungaria, aktivis liberal di Rusia, atau penduduk pribumi Meksiko, tidak punya kekuatan besar di negara masing-masing. Tuntutan mereka atas hak sipil tidak punya keampuhan sebesar tuntutan hak milik dan hak politik.

Teori-teori yang menjelaskan asal-usul demokrasi melewatkan ketimpangan di antara penerima hak-hak tersebut, karena hanya membahas kompromi antara kalangan elite dan pekerja. Kalangan elite memberikan hak memilih kepada kelas pekerja untuk menghindari ancaman revolusi. Sebagai ganti, massa –atau perwakilannya– setuju untuk tak merampas hak milik kalangan elite.

Tentu kalangan elite lebih memilih berkuasa sendiri dan melindungi hak-haknya. Sepanjang sejarah, hal itu yang acap terjadi. Kompromi demokrasi muncul ketika massa berkelompok untuk perjuangkan kepentingan bersama. Sejarah mencatat, gerakan itu muncul dari industrialisasi, urbanisasi, perang, atau perlawanan antikolonialisme.

Namun kompromi itu hanya menghasilkan demokrasi dengan pemilihan, bukan demokrasi liberal. Hak milik dan hak politik yang dihasilkan jarang disertai hak sipil juga. Kalangan minoritas yang paling memerlukan hak sipil tak berperan dalam peralihan ke demokrasi karena tak punya daya tawar.

Dari sudut pandang ini, teka-tekinya bukanlah mengapa sering kali demokrasi menjadi tidak liberal, tapi mengapa demokrasi liberal bisa muncul.
Satu kondisi yang memungkinkan demokrasi liberal muncul adalah tak adanya kelompok minoritas yang didiskriminasikan kelompok mayoritas karena keseragaman budaya dan sosial. Negara-negara Skandinavia, Jepang, dan Korea Selatan mendekati gambaran tersebut.

Kondisi lainnya adalah keberadaan pengelompokan masyarakat yang beragam dan tumpang tindih. Sulit untuk menentukan kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok yang sedang berkuasa mungkin bersedia mengakui hak kelompok lainnya, karena khawatir di masa depan berada dalam posisi tidak berkuasa. Demokrasi di Lebanon bertumpu pada keseimbangan yang goyah seperti ini — sampai perubahan jumlah penduduk dan intervensi luar mengubahnya.

Kemungkinan ketiga adalah pengelompokan etnis atau rasial mengikuti pemisahan antara massa dan kalangan elite. Di Afrika Selatan, orang kulit putih adalah kalangan elite sekaligus ras minoritas. Saat peralihan demokrasi tahun 1994, pemerintah apartheid meminta (dan menerima) perlindungan hak milik dan hak sipil bagi minoritas kulit putih, sebagai ganti pemberian hak politik bagi mayoritas kulit hitam. Kompromi ini bertahan cukup baik, walau demokrasi Afrika Selatan telah mengalami masa-masa sulit.

Kemungkinan lain, demokrasi liberal tak berkaitan dengan perimbangan relasi kuasa di antara kelompok-kelompok sosial dan motivasi strategisnya. Mungkin yang dibutuhkan adalah perkembangan budaya toleransi dan kebebasan sipil seiring berjalannya waktu. Atau mungkin keduanya dibutuhkan untuk mempertahankan institusi yang melindungi hak milik, hak politik, dan hak sipil dalam jangka panjang.

Apa pun alasan kemunculan demokrasi liberal, jangan heran kenyataannya hal tersebut jarang ada. Jarang sekali muncul susunan kekuatan politik yang sesuai untuk menghasilkan demokrasi liberal yang langgeng.

Profesor Ilmu Sosial di Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.