
Sekitar 50 nelayan tradisional yang melaut di wilayah perbatasan Indonesia–Malaysia mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengakomodasi situasi dan kondisi yang mereka dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan mengatakan draf Rancangan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan versi 1 Juni 2015 belum menempatkan upaya pencegahan terhadap pelanggaran kedaulatan negara dan kesejahteraan nelayan di wilayah perbatasan sebagai prioritas.
“Hal ini berdampak pada munculnya insiden penghinaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan warga negaranya. Selama 3 tahun, sejak 2009-2011, sedikitnya 63 nelayan ditangkap oleh aparat negeri jiran,” kata Abdul di Jakarta, Rabu [1/7]. “penghinaan, pemukulan dan penyiksaaan seringkali dialami oleh nelayan tradisional Indonesia yang tertangkap.”
Karena itu, RUU tersebut sangat penting untuk menempatkan upaya pencegahan sebagai tujuan utama dilindungi dan diberdayakannya nelayan tradisional di wilayah perbatasan, katanya
Muhammad Iqbal, pendamping nelayan tradisional di perairan perbatasan Indonesia-Malaysia asal Langkat, Sumatera Utara, mengatakan, situasi dan kondisi nelayan yang melaut di wilayah perbatasan amatlah memprihatinkan.
“Rasa cemas, khawatir tertangkap, dan ancaman tindak kekerasan terus menghantui nelayan di perbatasan. Alhasil, tingginya ongkos melaut seringkali tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh. Lebih parah lagi, saat tertangkap aparat negeri jiran, pemerintah justru tidak memberikan upaya perlindungan yang maksimal.”
Karena itu, kami berharap RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menyelesaikan kesulitan yang kami hadapi dan memberi rasa aman bagi nelayan di wilayah perbatasan negara, kata Iqbal.[*]