*Oleh Hifdzil Alim
Satu semester memerintah, pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan pentas kekuasaan yang kurang menyentuh harapan rakyat. Berbagai rumusan kebijakannya cenderung dianggap bertentangan dengan semangat revolusi mental —jargon kampanye yang diusung pada kampanye Pemilihan Presiden 2014. Contoh paling kentara dalam kebijakan hukum adalah remisi untuk terpidana tindak pidana korupsi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly mengeluarkan wacana mencabut atau mengganti kebijakan remisi bagi koruptor. Padahal, kebijakan ini merupakan masterpiece penegakan hukum antikorupsi yang diapresiasi rakyat pada masa pemerintahan sebelumnya. Ada kelompok yang berujar, remisi adalah hak semua narapidana.
Jadi, masihkah pemerintah berpikir untuk mengubah kebijakan remisi bagi koruptor?
Lalu, mengapa untuk koruptor harus dibedakan? Bukankah ini melanggar hak narapidana kasus korupsi? Bahkan, kebijakan pengetatan remisi bagi koruptor pernah mendapatkan tentangan dari DPR periode 2009-2014.
Kala itu, 86 anggota legislatif, melalui surat bertanggal 13 Februari 2012 perihal usul hak interplasi atas moratorium pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi, berniat menginterplasi pemerintah. Alasannya, pengetatan remisi bagi koruptor bertentangan dengan UNCAC, Konvensi PBB tentang Antikorupsi Tahun 2003.
Landasan hukum bagi hak narapidana mendapatkan remisi ada dalam Pasal 14 huruf i UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan, pemberian remisi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dalam waktu 13 tahun, ada tiga peraturan pemerintah yang diterbitkan terkait remisi. Terakhir, adalah PP Nomor 99 Tahun 2012.
Pasal 34A ayat (1) PP Remisi antara lain menya- takan, “Pemberian remisi bagi narapidana korupsi… selain harus memenuhi Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar per- kara tindak pidana yang dilakukannya; b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karema melakukan korupsi…”
Rupanya ketentuan ini dianggap memasung hak narapidana korupsi. Benarkah Pasal 34A ayat (1) tersebut melanggar hak narapidana korupsi?
Setidaknya, ada tiga patokan untuk menilai apakah PP Remisi melanggar hak narapidana atau tidak. Pertama, dari sisi pelaku pidana. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1995, pemasyarakatan adalah rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tak mengulangi tindak pidana. Asumsinya, pelaku kejahatan itu bodoh, tidak berpendidikan, dan tidak memahami konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukannya. Hal ini sepertinya ditujukan untuk pelaku tindak pidana umum.
Bagaimana dengan pelaku korupsi? Koruptor sangat jauh dari kriteria tadi. Narapidana korupsi kebanyakan dari kalangan yang sempat mengeyam pendidikan tinggi dan sadar betul akan dampak kejahatannya. Karena itu, kemudahan memberikan remisi patut disangsikan.
Kedua, dari sisi korban kejahatan. Pada tindak pidana umum atau biasa, korban kejahatan adalah individu—dan mungkin keluarganya. Adapun tindak pidana korupsi menyerang publik secara luas dan turun-temurun. Bukan hanya itu, korupsi juga merusak sistem keuangan negara/daerah.
Melalui pendekatan viktimologi, koruptor menginjak-injak hak korban (rakyat) untuk mendapatkan kesejahteraan. Masih mungkinkah memudahkan pemberian remisi bagi koruptor?
Ketiga, secara teknis hukum, Pasal 34A ayat (1) PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak menghilangkan sama sekali hak narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi. Aturan pelaksana peraturan itu hanya menambahkan dua persyaratan bagi koruptor bila ingin memperoleh remisi, yakn bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar kejahatannya (justice collaborator) dan membayar lunas denda serta uang pengganti.
Artinya, koruptor sangat mungkin mendapatkan belas kasih negara melalui remisi, sepajang mau menjadi justice collaborator dan melunasi denda serta uang pengganti.
Lagi pula, jika menggunakan filosofi pemasyarakatan, pilihan untuk berperan sebagai pembongkar kejahatan, bakal menempatkan koruptor dalam derajat yang lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat akan mudah menerima karena menilai si koruptor telah insaf — yang ditunjukkan melalui peran barunya itu.
Jadi, masihkah pemerintah berpikir untuk mengubah kebijakan remisi bagi koruptor?
*Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga