Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon pada Rabu, kemarin mendesak pemimpin oposisi dan pemerintah di Sudan Selatan agar menjelaskan kepada masyarakat bahwa menyerang warga sipil takkan ditolerir.
Ia juga ingin semua pihak di negara termuda di dunia tersebut “mengetahui bahwa mereka yang bertanggung-jawab atas pelanggaran serius hak asasi manusia akan dimintari pertanggung-jawaban atas tindakan mereka”.
“Pemimpin politik di kedua pihak harus membuat pernyataan terbuka yang tegas bahwa mengincar warga sipil takkan ditolerir,” kata Ban di dalam satu pernyataan yang dikeluarkan oleh juru bicaranya di Markas Besar PBB, New York.
“Semua pihak dalam konflik harus mengetahui bahwa mereka yang bertanggung-jawab atas pelanggaran serius hak asasi manusia akan dimintari pertanggung-jawaban atas perbuatan mereka.” Pernyataan itu dikeluarkan pada malam peringatan keempat kemerdekaan Sudan Selatan, yang secara resmi diproklamasikan pada 9 Juli 2011, setelah referendum saat sebanyak 99 persen warga Sudan Selatan memberi suara bagi pemisahan diri dari Sudan.
Pemimpin PBB tersebut mengenang bahwa ia berdiri di Juba, Ibu Kota Sudan Selatan, empat tahun lalu bersama massa warga yang bangga dan menyaksikan bendera dikibarkan untuk pertama kali bagi negara anggota terbaru PBB, Sudan Selatan.
“Saya takkan pernah melupakan rasa bahagia dan harapan,” kata Ban.
“Kenangan itu lebih menyakitkan untuk diingat hari ini, saat kita memperingatikan ulang tahun keempat satu negara tempat harapan menjadi pasokan singkat.”
“Kerusuhan yang telah berkecamuk di Sudan Selatan selama 18 bulan terakhir membuktikan bahwa takkan pernah ada penyelesaian militer bagi konflik ini,” katanya. “Oleh karena itu saya menyeru semua pemimpin Sudan Selatan –terutama Presiden Salva Kiir dan mantan wakil presiden Riek Machar– agar membuktikan kepemimpinan mereka dengan memilih penyelesaian politik dan secepatnya mencapai kesepakatan perdamaian menyeluruh.” “Pada saat yang sama, masyarakat internasional harus melakukan tindakan penting guna membantu mengakhiri pertempuran,” kata Ban.
Perang saudara Sudan Selatan dan kerusuhan meletus pada pertengahan Desember 2013. Sejauh ini berbagai upaya telah gagal mengakhiri konflik itu, dan kondisi penduduk yang terpengaruh tetap suram.
Beberapa pekan belakangan telah menyaksikan peningkatan kerusuhan di Negara Bagian Unity dan Upper Nile, dan pertempuran sengit memaksa puluhan ribu orang melarikan diri ke semak dan daerah rawa, ke daerah yang sulit dicapai.
“Rakyat Sudan Selatan menghadapi penderitaan, tingkat kekerasan yang luar biasa dan pelecehan seksual yang terperikan,” kata pernyataan tersebut. (Antara/Xinhua-OANA)