Jamu sebagai aset bangsa harus dilestarikan, dimanfaatkan, dan dikembangkan. Sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional sebagai acuan para penyehat dan praktisi pelayanan kesehatan tradisional.
“Pemerintah sudah respon untuk pengembangan jamu. Sehingga jamu mampu menjadi metode hidup sehat dan penyehatan,” kata Soetresno Martosudarmo, Ketua Tim Penyelamat Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia dalam diskusi Kebijakan Kesehatan Obat Tradisional di Jakarta.
Menurutnya, hal itu dilakukan dengan melakukan komunikasi pengembangan jamu dalam perspektif sosial ekonomi untuk mendorong pemahaman dan promosi jamu, yang diikuti upaya penguatan payung hukum berupa penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-undang Jamu.
Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 103/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional pada 3 Desember 2014 sebagai acuan bagi para praktisi pelayanan kesehatan tradisional.
Berdasarkan hasil tumbuhan obat dan jamu yang dilakukan Badan Litbang Kementerian Kesehatan tahun 2012 hingga 2013 pada 246 etnis, sekitar 20% dari seluruh etnis yang ada di 182 kabupaten di 26 provinsi di luar Pulau Jawa telah ditemukan 24.927 tumbuhan lokal berkhasiat obat dan 13.665 jenis ramuan tradisional.
“Hal itu merupakan suatu kekayaan budaya dan pengetahuan tradisional yang luar biasa,” katanya.
Komitmen dan sinergi menjadi kata kunci penting untuk mengembangkan jamu. Pengembangan produk jamu dengan konsep tarikan pasar akan lebih tepat dan cepat untuk direalisasikan ke pasar dari pada konsep perkembangnan teknologi.
Untuk itu, skema sinergi akademisi, pengusaha, dan pemerintah merupakan skema yang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan produk dan industri jamu.
Sinergi itu, harus dibangun dengan semangat nusantara yang tinggi dalam rangka menggali, memanfaatkan, dan mengembangkan jamu berbasis inovasi teknologi.
“Mari kita jadikan jamu sebagai tuan rumah yang baik di negeri sendiri dan menjadi tamu agung di negeri orang,” ungkapnya.[*]