Dewan Pers menilai pemberitaan mengenai terorisme di Indonesia selama ini melanggar etika.
“Satu-satunya negara di dunia yang medianya ceroboh dalam memberitakan operasi penangkapan teroris dengan menggelar siaran langsung secara detail hanya Indonesia,” kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di Padang, Kamis siang ini.
Di Padang, ia menjadi pembicara dalam sosialisasi pencegahan radikalisme dan terorisme untuk kalangan media dan humas yang digelar oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menurut Yosep, negara lain tidak pernah ada media yang menyiarkan secara langsung operasi penangkapan teroris karena dikhawatirkan bisa menggagalkan operasi.
“Di seluruh dunia tidak ada siaran seperti itu, di Indonesia awalnya sekilas info malah berlanjut menjadi siaran langsung sembilan jam, itu tidak boleh,” ujar dia.
Selain itu, Yosep mengkritik media yang memutar berulang-ulang detik-detik ledakan bom, karena hal ini akan menimbulkan trauma bagi korban.
“Ada juga yang memutar rekaman pesan terakhir pelaku bom bunuh diri, padahal begitu bom meledak mereka sudah meninggal, ini kan artinya media meneruskan pesan pelaku terorisme,” kata dia.
Pelakunya sudah meninggal, tapi pesannya diteruskan melalui pemberitaan sehingga timbul suasana mencekam. Yosep mengatakan terorisme seakan-akan menjadi oksigen bagi pemberitaan dan terjadi simbiosis mutualisme karena dapat meningkatkan rating dan oplah.
Dewan Pers telah menyusun peraturan tentang peliputan terorisme yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015.
“Aturan tersebut mengatur tentang bagaimana seharusnya wartawan dan media massa menyiarkan berita terorisme di antaranya menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik,” ujar dia.
Wartawan tidak boleh menyembunyikan informasi dengan alasan mendapatkan liputan ekslusif karena keselamatan nyawa orang banyak di atas kepentingan berita.
Sementara Deputi I BNPT Mayjen Agus Surya Bakti mengatakan media massa menjadi alat propaganda yang efektif bagi teroris.
“Saat ini ISIS merekrut ahli teknologi informasi untuk melakukan propaganda di dunia maya, koordinasi dan latihan juga cukup menggunakan media,” ujar dia. (Antara)