Banyak pihak yang menilai pembangunan Light Rail Transit (LRT) masih menuai banyak masalah. Selain terkendala hasil studi proyek yang berbeda antara BUMD Jakarta Propertindo dengan BUMN PT Adhi Karya (Persero), pembangunan LRT ini dikhawatirkan akan mangrak dan bernasib sama dengan pembangunan monorail yang terbengkalai.
Selain itu LRT akan menambah kemacetan Ibu Kota. Namun, menurut Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Fajar Sumatmaji, pembangunan LRT tidak menjadi masalah jika sudah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Jakarta.
“Pemerintah Jakarta harus membenahi konsep transportasi yang sesuai agar pembangunan LRT tidak jadi masalah,” ungkap Fajar. Ia menjelaskan bahwa pemerintah Jakarta harus memilih terlebih dahulu tingkatan-tingkatan dari model transportasi yang sesuai dan menjadi kebutuhan masyarakat. Jika pemerintah memilih Mass Rapid Transit (MRT) menjadi transportasi unggulan, maka LRT harus terhubung dengan MRT agar tidak menggangu mobilitas tinggi penduduk.
Menurut Fajar, kelayakan pembangunan LRT di Jakarta juga diukur dari kebutuhan masyarakat akan transportasi apa saja yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta. Untuk saat ini, pembangunan LRT bukan masalah baru jika pemerintah sudah memperbaiki konsep transportasi kota.
Kemacetan yang terjadi di Ibu Kota menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat Jakarta. Pada 2015, tercatat ada 33.240 kali berhenti-jalan / Stop-Start Magnatec Castrol dan membuat Jakarta menjadi salah satu kota termacet dunia. Kerugian rupiah yang ditimbulkan karena kemacetan yang terjadi hingga tahun 2015 mencapai Rp 28,1 Triliun per tahun.
Pembangunan moda transportasi yang sesuai memang menjadi harapan baru masyarakat Jakarta. Pembangunan ini juga diharapkan dapat mengurai kemacetan Ibu Kota. “Jika LRT berada di posisi yang benar, maka tidak akan menimbulkan masalah,” kata Fajar. [*]