Oleh Khudori*
Tak mudah menebak apa alasan di balik penerbitan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Dari sisi waktu, beleid pengganti Inpres Nomor 3 Tahun 2012 yang terbit pada 17 Maret itu jauh dari upaya merangsang petani agar bergairah berproduksi.
Bagi Bulog, pedagang pengumpul, dan pemilik penggilingan, waktu terbit Inpres juga terlambat karena musim panen raya sudah berlangsung. Idealnya, Inpres terbit sebelum panen raya yang berlangsung Februari – Mei.
Karena itu, fungsi Inpres sepertinya hanya sebagai patokan harga di pasar. Tak lebih tak kurang. Di Inpres ditentukan harga gabah kering panen di petani Rp 3.700/kg (sebelumnya Rp 3.300/ kg), gabah kering giling di gudang Bulog Rp 4.650/ kg (sebelumnya Rp 4.200/kg), dan beras di gudang Bulog Rp 7.300/kg (sebelumnya Rp 6.600/kg).
Jika beras pengadaan Bulog kualitasnya rendah, tentu mustahil berharap raskin berkualitas bagus.
Bagi pedagang pengumpul dan pemilik penggilingan padi, Inpres menjamin mereka tetap bisa mengais untung lewat pengadaan beras untuk warga miskin (raskin). Dalam setahun, jumlah raskin kira-kira 3 juta ton. Mereka tidak bergairah jika pengadaan hanya untuk cadangan beras pemerintah (CBP) karena jumlahnya amat kecil, hanya 0,35 juta ton.
Presiden Joko Widodo mungkin berharap Inpres jadi obat mujarab pelbagai masalah beras, seperti gejolak harga dan cadangan yang menipis. Tak banyak disadari, Inpres dengan harga pembelian pemerintah (HPP) tunggal beras kualitas rendah/medium bakal berdampak luas pada tiga hal: melanggengkan penggilingan padi kecil/ sederhana; sulit menekan susut saat pengeringan dan penggilingan serta rendemen giling; dan penggilingan kecil/sederhana bakal tutup saat pasar tunggal ASEAN berlaku (Sawit, 2015).
Selain itu, Inpres ini menyimpan risiko tersembunyi. Pertama, pertaruhan kualitas beras Bulog. Di Inpres HPP beras kualitas medium di gudang Bulog dipatok Rp 7.300/kg. Di sisi lain, harga beras kualitas serupa di pasaran Rp 9.993/kg per 23 April.
Dengan disparitas Rp 2.700/kg, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Bulog tetap bisa mendapatkan beras di pasaran untuk memperkuat cadangan. Namun, dengan disparitas sebesar itu, kualitas beras seperti apa yang didapatkan Bulog?
Tiga tahun terakhir, pengadaan beras Bulog tergolong tinggi: 3,65 juta ton (2012); 3,49 juta ton (2013); dan 2,4 juta ton (2014). Pengadaan yang tinggi itu terjadi saat harga beras di pasaran jauh di atas HPP. Ini aneh, bahkan misteri. Misteri ini mungkin yang bisa menjelaskan mengapa selalu muncul keluhan berulang-ulang dan bertahun-tahun terhadap kualitas raskin.
Jika beras pengadaan Bulog kualitasnya rendah, tentu mustahil berharap raskin berkualitas bagus. Belum lagi penurunan mutu akibat penyimpanan.
Kemungkinan kedua, karena harga amat tinggi Bulog tidak mendapatkan beras di pasaran. Tak ingin mempertaruhkan reputasi, Bulog tak mau membeli beras berkualitas rendah. Konsekuensinya, cadangan beras Bulog menipis. Di sisi lain, pedagang menguasai stok. Pasar beras mudah sekali ”memanas”.
Impor menjadi satu-satunya jurus tersisa. Inilah risiko kedua yang tidak banyak disadari. Jika ini terjadi, tentu sebuah ironi. Sebab, impor dilakukan saat produksi beras dalam negeri mencukupi.
Ada dua jalan keluar. Pertama, kebijakan harga tunggal (beras medium) selama 46 tahun harus diubah ke harga multikualitas (kualitas super dan premium). Ini didasari kenyataan kualitas beras mengikuti irama panen: jelek saat panen raya, membaik saat panen gadu, dan baik saat paceklik.
Dengan multikualitas, pengadaan Bulog bisa dilakukan sepanjang tahun: beras medium saat panen raya untuk raskin, dan beras premium saat panen gadu dan paceklik untuk CBP. Selain itu, opsi ini didasari oleh banyaknya jenis beras di pasar.
Di Pasar Induk Cipinang ada 17 jenis beras. Di kota-kota lain ada 3 hingga 5 jenis. Opsi ini akan menciptakan insentif petani dan penggilingan padi untuk memperbaiki kualitas gabah/beras.
Kedua, mengubah CBP dari kualitas medium ke premium. Volumenya juga perlu diperbesar hingga 1,3 juta ton. Dengan ini CBP akan efektif untuk stabilisasi harga beras karena tak perlu dioplos dahulu dan untuk memberikan bantuan negara sahabat. Bahkan, jika masih ada kelebihan volume, CBP bisa untuk tujuan ekspor.
Ini bisa memecahkan kebuntuan investasi industri penggilingan modern melalui pengadaan yang berbeda kualitas dan penyaluran beras. Dengan dua opsi ini pasar beras berpeluang sehat dan industri padi/beras yang mati suri akan hidup lagi.
*Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia