Ridlwan Habib, Koordinator eksekutif Indonesia Intelligence Institute mengatakan Agen Badan Intelijen Negara dapat berperan dengan memberi analisa detail masalah pangan nasional pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam memberantas mafia pangan.
“Intelijen pangan, demikian istilah guna membawa manfaat bagi warga negara dalam hal pangan,” katanya melalui keterangan resmi di Jakarta, Kamis (2/7).
Menururtnya, di era pemerintahan baru, masih ada waktu membenahi yang terlanjur keliru dan amburadul. Pemerintah juga dituntut serius dalam mengurus kedaulatan pangan di Indonesia.
Komunitas intelijen perlu berperan serta aktif dalam mewujudkan ketahanan pangan. Terutama dalam perang melawan mafia pangan. Fungsi intelijen yang meliputi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dapat dilakukan dalam isu pangan.
Intelijen dapat melakukan penyelidikan terhadap aktor mafia pangan yang bertahun-tahun mengatur pasokan pangan dan mengakali negara demi keuntungan pribadi.
Baintelkam, Badan Intelijen Keamanan misalnya, bisa melakukan penyelidikan baik secara kewilayahan maupun nasional dan hasilnya disampaikan pada Kapolri.
Jika ada penindakan hukum dapat dilakukan oleh reserse maupun fungsi lain dalam sistem kepolisian. Intelijen bea cukai juga bisa berperan memetakan aktor jahat mafia impor bekerjasama dengan intelijen imigrasi.
Ridlwan menjelaskan cara mengeruk keuntungan bidang pangan. Pertama, adalah perkiraan kebutuhan pangan yang dilebih-lebihkan demi memunculkan kesan terdapat celah antara permintaan pasar dan produksi sehingga impor menjadi keharusan.
Kedua, membuat lonjakan harga komoditas pangan pada bulan tertentu sehingga, impor pangan dipertimbangkan.
Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan sehingga importir mendapat keuntungan besar dari pembebasan Pajak Pertambahan Nilai, bea masuk, dan Pajak Penghasilan. Keuntungan besar ini yang kemudian dibagi-bagi kepada siapa saja yang membantu menjaga impor, baik politisi hingga birokrat.
Keempat, memainkan berbagai mekanisme pengaturan seperti kuota impor perusahaan, sementara fakta di lapangan menunjukkan impor setiap komoditas pangan itu hanya dikuasai segelintir orang.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, yang dijadikan acuan, konsumsi beras penduduk Indonesia per kapita per tahun rata-rata 133,484 kilogram. Padahal menurut penelitian yang dilakukan HKTI, konsumsi beras perkapita hanya 110 kilogram perkapita per tahun.
Jika asumsi konsumsi 139,15 kilogram per kapita per tahun, total konsumsi 237,6 juta penduduk seharusnya 33 juta ton. Jika memang perhitungan data produksi pangan tersebut benar, semestinya Indonesia memiliki surplus beras sebanyak 6 juta ton, sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor beras.
Faktanya Indonesia justru mengimpor beras dalam jumlah besar. Metode penghitungan kebutuhan pangan semacam itu, ironisnya, juga terjadi pada hampir seluruh komoditas seperti jagung, kedelai, dan gula. “Lalu kemana Intelijen kita?” katanya.
Menurut data Badan Pusat Statistik, produktivitas padi Indonesia selalu mengalami peningkatan sebesar 1% hingga 3%. Selama 30 tahun terakhir produksi padi Indonesia meningkat dua kali lipat, sedangkan jagung meningkat hingga 4 kali lipat.
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur dilanda kelaparan menyusul musim kering dan gagal panen. Tiga bulan sebelumnya, 11 orang suku anak dalam di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi tewas akibat kekurangan pangan dan air bersih. Hingga 2014, diperkirakan ada 10,9 juta balita di Indonesia meninggal setiap tahun akibat kekurangan gizi.
Laporan Organisasi Pangan Dunia [FAO] Mei lalu mencatat 19,4 juta penduduk Indonesia tidur dengan perut lapar setiap hari. Jumlah itu mencapai sepertiga dari jumlah penduduk Asia Tenggara kelaparan. FAO meminta semua sektor dan lembaga pembangunan mempercepat langkah mencapai Zero Hunger Challenge (Tantangan Nol Kelaparan).[*]