Soetresno Martosudarmo, Ketua Tim Penyelamat Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia mengatakan pengobat bukan sebagai tukang obat. Pengobat mengadepankan kesehatan dan keselamatan seseorang. Namun, tukang obat lebih memikirkan keuntungan obat terjual.
Tren pengobatan alternatif menggunakan tanaman obat herbal kian menjamur sejak beberapa tahun terakhir. Banyak yang telah melirik herbal, khasiat herbal pun semakin diakui.
Dibalik tingginya minat masyarakat terhadap pengobatan herbal, selalu saja muncul persoalan. Satu di antaranya yakni dengan tampilnya pengobat herbal gadungan yang hanya berniat mengeruk keuntungan secara materi.
Maka kita harus mencermati kata penyehat mengacu kepada peraturan pemerintah 103/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, maka penyehat secarapengalaman dirugikan.
Menururtnya, regulasi yang membatasi peluang penyahat, sementara keberadaan masih diperlukan dimasyarakat. Namun, sebagian pelaku penyehat yang memberikan pelayanan kurang memperhatikan etika. “Seperti iklan yang beredar di media,” katanya melalui keterangan resmi di Jakarta, kemarin.
Soetresno menegaskan, jika penyehat mengedepankan kepentingan keselamatan seseorang dan tidak memikirkan untuk dan rugi, maka hal ini etika penyehat harus diutamakan.
Cita-cita luhur maupun impian para penyehat dalam melestarikan warisan budaya nusantara terealisasi asal atar lembaga dan regulasi, pemangku kepentingan bersatu menghilangkan ego sektoral demi kepentingan bangsa.
Tujuan utama Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia adalah melakukan pembinaan sekaligus peningkatan mutu layanan pengobatan alternatif ramuan Indonesia. Karena itulah ASPETRI memiliki kewenangan untuk memberikan sertifikasi dan pelatihan yang dilakukan secara berkala. [Baca:Membangun Kepercayaan, Sehat Dengan Ramuan Herbal]
Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 103/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional pada 3 Desember 2014 sebagai acuan bagi para praktisi pelayanan kesehatan tradisional.
Berdasarkan hasil tumbuhan obat dan jamu yang dilakukan Badan Litbang Kementerian Kesehatan tahun 2012 hingga 2013 pada 246 etnis, sekitar 20% dari seluruh etnis yang ada di 182 kabupaten di 26 provinsi di luar Pulau Jawa telah ditemukan 24.927 tumbuhan lokal berkhasiat obat dan 13.665 jenis ramuan tradisional.
“Hal itu merupakan suatu kekayaan budaya dan pengetahuan tradisional yang luar biasa,” katanya.
Komitmen dan sinergi menjadi kata kunci penting untuk mengembangkan jamu. Pengembangan produk jamu dengan konsep tarikan pasar akan lebih tepat dan cepat untuk direalisasikan ke pasar dari pada konsep perkembangnan teknologi.[*]