Jepang baru saja mencetak sejarah baru dengan mengetok palu anggaran rekor sebesar 122 triliun yen (sekitar 785 miliar dolar AS). Bagi Perdana Menteri Sanae Takaichi, ini bukan sekadar angka di atas kertas—ini adalah pertaruhan politik pertamanya yang sangat krusial.
Takaichi mewarisi kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja: laju pertumbuhan yang lesu, nilai Yen yang terus melemah dan imbal hasil obligasi yang meninggi, memaksa Tokyo melakukan manuver keseimbangan yang sangat sulit.
Dalam pernyataannya, Takaichi menegaskan fokusnya:
“Kami memperkuat kebijakan vital, mulai dari pertahanan, transformasi hijau, hingga industri semikonduktor. Kami bahkan menambah anggaran awal sebesar 1 triliun yen untuk memastikan rencana jangka panjang ini berjalan.”
Meski ambisius, rencana Takaichi memicu alarm waspada bagi para pengamat ekonomi. Masalahnya klasik namun fatal, utang. Jepang saat ini memegang predikat sebagai salah satu negara dengan rasio utang terhadap PDB tertinggi di dunia. IMF memproyeksikan utang Jepang akan menyentuh angka 232% dari PDB tahun ini.
Apa maknanya bagi rakyat jelata? Bayangkan sebuah rumah tangga: untuk setiap 100 yen yang mereka hasilkan, mereka memiliki utang sebesar 232 yen. Dengan kata lain, Jepang berutang lebih dari dua kali lipat dari total seluruh hasil produksinya dalam setahun. Di tengah ekonomi yang melambat, tumpukan utang ini adalah beban yang sangat berat.
Takaichi tetap optimistis bisa menjaga disiplin fiskal, namun pertanyaannya tetap sama: Apakah anggaran raksasa ini akan menjadi mesin pertumbuhan, atau justru menjadi beban yang menenggelamkan masa depan ekonomi Jepang?
Perdana Menteri Sanae Takaichi berdiri di persimpangan jalan sejarah. Di satu sisi, ia harus menghidupkan kembali mesin ekonomi yang mulai mendingin; di sisi lain, ia harus memperkuat perisai negara di tengah geopolitik Asia Timur yang kian memanas.
Mengenai arah kebijakan fiskal tahun 2026, Takaichi dengan nada percaya diri menyatakan:
“Saya memiliki keyakinan penuh bahwa anggaran yang kita susun kali ini adalah jembatan menuju masa depan. Kita tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tangguh, tetapi juga menjaga keberlanjutan fiskal sebagai fondasi negara. Strategi kita jelas: memprioritaskan kebijakan-kebijakan krusial tanpa mengabaikan disiplin anggaran yang ketat.”
Kalimat ini menjadi jawaban Takaichi atas keraguan publik mengenai bagaimana Jepang akan membiayai ambisi besarnya tanpa membuat negara bangkrut.
Namun, jika ada satu angka yang membuat dunia menoleh, itu adalah 9 triliun yen (sekitar 58 miliar dolar AS). Ini bukan sekadar angka; ini adalah pernyataan sikap. Jepang baru saja meresmikan anggaran pertahanan terbesar sepanjang sejarahnya, sebuah lonjakan tajam sebesar 9,4% dibandingkan tahun lalu.
Mengapa Jepang mendadak berotot? Jawabannya jelas: bayang-bayang Tiongkok. Meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan dan sengketa wilayah di Laut Cina Timur telah memaksa Tokyo untuk keluar dari zona nyaman pasifismenya.
Penting untuk dicatat bahwa anggaran 9 triliun yen ini bukanlah sebuah kebetulan atau pengeluaran impulsif. Ini adalah bagian dari strategi marathon. Jepang berada dalam misi lima tahun untuk melipatgandakan belanja pertahanannya. Tokyo bertekad menaikkan standar belanja militernya hingga menyentuh angka 2% dari PDB, menyamai standar negara-negara NATO. Jika rencana ini rampung, Jepang secara otomatis akan melesat menjadi pembelanja militer terbesar ketiga di dunia, tepat berada di belakang dua kekuatan super, Amerika Serikat dan Tiongkok.
Langkah ini menandai pergeseran paradigma yang radikal. Bagi Jepang, pertahanan bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan prioritas utama yang harus ditebus dengan harga mahal di tengah ekonomi yang sedang melambat. Takaichi sedang bertaruh bahwa dengan memperkuat militer, ia tidak hanya mengamankan wilayah, tetapi juga menegaskan kedaulatan Jepang di panggung politik global yang semakin tidak terprediksi.
Keputusan Jepang untuk menggelontorkan dana fantastis ini memicu pertanyaan besar: Mengapa sekarang? Dan apakah ini murni karena ancaman Tiongkok, atau ada ambisi kedaulatan yang lebih besar? Untuk memahaminya, kita harus membedah anggaran tersebut ke dalam tiga lapisan pertahanan yang sangat strategis.
Pertama, Jepang tidak lagi sekadar bertahan di garis pantai. Mereka mulai membangun “daya pukul” untuk menjauhkan lawan. Investasi $6,2 miliar dialokasikan khusus untuk pengembangan rudal jarak jauh. Sebanyak $1,3 miliar dikucurkan untuk memodifikasi Rudal Tipe 12 (permukaan-ke-kapal). Rudal ini dirancang untuk mampu menghantam target hingga jarak 1.000 km. Sebagai gambaran, jarak ini cukup untuk menjangkau titik-titik vital di daratan utama Tiongkok. Tokyo bersikeras ini adalah langkah deterrence (pencegahan)—pesan implisit bahwa menyerang Jepang akan berbuah balasan yang setimpal.
Kedua, Jepang menghadapi dilema unik: garis pantai raksasa sepanjang 29.000 kilometer dan ribuan pulau, namun jumlah tentaranya terus berkurang akibat populasi yang menua (aging population).
Solusinya? Teknologi, bukan manusia. Tokyo menginvestasikan $640 juta untuk membangun tentara robot. Mulai dari drone udara (UAV), kapal permukaan tanpa awak, hingga drone pengintai bawah laut. Semua sistem otonom ini akan disatukan dalam satu jaringan terintegrasi yang ambisius bernama “The Shield“. Targetnya? Jaringan ini akan sepenuhnya “online” dan menjaga kedaulatan Jepang pada Maret 2028.
Pertempuran modern tidak lagi hanya terjadi di darat atau laut, melainkan di orbit bumi. Lapisan ketiga ini berfokus pada dominasi ruang angkasa untuk memastikan Jepang tidak “buta” saat konflik terjadi. Anggaran ini mencakup pengadaan satelit pengumpul intelijen tingkat tinggi. Mulai dari penguatan sinyal GPS militer hingga pesawat ruang angkasa kargo untuk logistik darurat. Memastikan koordinasi antara rudal di darat dan drone di laut berjalan tanpa gangguan sinyal dari pihak lawan.
Pertanyaan besarnya: Mengapa Jepang berani mengambil risiko finansial sebesar ini sekarang? Jawabannya hanya satu kata: Tiongkok. Dalam dokumen Strategi Keamanan Nasionalnya, Tokyo secara terang-terangan melabeli Beijing sebagai “tantangan strategis paling serius” yang pernah mereka hadapi.
Ini bukan sekadar kekhawatiran di atas kertas. Realitas di lapangan telah berubah menjadi zona abu-abu yang berbahaya. Jet-jet tempur Jepang telah mengalami insiden di mana radar pesawat Tiongkok mengunci posisi mereka—sebuah gestur pra-pertempuran yang sangat provokatif. Kapal induk Tiongkok kini rutin terlihat bermain di dekat perairan teritorial Jepang. Manuver angkatan laut Beijing di sekitar pulau-pulau luar Jepang kini menjadi pemandangan harian.
Ketegangan ini mencapai titik didih akibat satu kalimat berani dari Perdana Menteri Sanae Takaichi. Ia menegaskan bahwa jika Tiongkok menyerang Taiwan, Jepang tidak akan tinggal diam secara militer.
Pernyataan ini adalah “tabu” yang dilanggar, memicu kemarahan besar di Beijing yang berujung pada pembalasan diplomatik dan ekonomi. Meski Tokyo secara resmi berkilah dengan dalih “tidak ada perubahan kebijakan”, angka-angka dalam anggaran terbaru mereka meneriakkan pesan yang sangat berbeda.
Apakah Jepang telah membuang konstitusi damainya? Jawabannya lebih rumit dari sekadar ya atau idak. Jepang sedang menjalankan warisan ideologis Shinzo Abe. Melalui reinterpretasi konstitusi tahun 2015 tentang pertahanan kolektif, Jepang kini punya izin legal untuk mengangkat senjata jika sekutunya diserang. Takaichi, sebagai murid politik Abe, kini sedang menyempurnakan visi mentornya tersebut.
Menariknya, rakyat Jepang yang dulu sangat anti-perang kini mulai berubah haluan. Data menunjukkan fenomena unik. Alih-alih dihujat karena pernyataan kerasnya soal Taiwan, elektabilitas Takaichi justru melambung tinggi. Publik Jepang tampaknya mulai menyadari bahwa di dunia yang kian tidak stabil, kekuatan militer adalah sebuah keharusan.
Jepang mungkin belum benar-benar meninggalkan pasifisme, namun mereka telah berhenti menjadi naif. Melalui anggaran raksasa ini, Tokyo mengirimkan pesan final ke dunia; Jepang tidak sedang memilih jalan perang, mereka hanya memilih untuk tidak membiarkan diri mereka dikejutkan olehnya.
