Tragedi banjir bandang dan tanah longsor di pulau Sumatra pada akhir November 2025 meninggalkan tanda tanya besar tentang bagaimana penanganan bagi penyandang disabilitas, apakah tanda bencana dan alarm terdengar olehnya dan fasilitas camp pengungsian diperhatikan ataukah diabaikan?
Perhatian terhadap kelompok rentan (disabilitas) seringkali dikesampingkan, bahkan tidak diperdulikan dalam situasi-situasi bencana dan krisis, padahal mereka sangat membutuhkan bantuan dan paling terdampak dalam situasi tersebut agar dapat bertahan hidup. Fasilitas tambahan dan alat bantu bagi penyandang disabilitas sangatlah penting.
Undang-Undang No 8 tahun 2016 menyebutkan bahwa kolompok disabilitas hidup dalam kondisi rentan, terbelakang akibat pembatasan, hambatan dan kesulitan yang dialaminya, maka negara harus menjamin atas kesamaan hak dan fasilitas dalam penanganan bencana. Tetapi implementasinya masih jauh dari kata sempurna.
Koalisi Inklusi dan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDIS) Aceh dalam peringatan Forum Disabilitas Internasional (FDI) menegaskan bahwa penanganan bencana belum memprioritaskan kebutuhan penyandang disabilitas. Ironi,,,!!!
Bencana banjir akibat Siklon Tropis Senyar yang diperparah dengan deforestasi hutan yang melanda 18 kabupaten/kota mengakibatkan lebih dari 1,45 juta warga terdampak. Banyak penyandang disabilitas kehilangan alat bantu, terisolasi, dan kesulitan mengakses layanan darurat, belum lagi korban meninggal yang tidak teridentifikasi sebagai menyandang disabilitas ataukah tidak.
Mitigasi dan penanganan bencana terhadap kelompok disabilitas belum menjadi prioritas utama, penangganan bencana bagi disabilitas masih berhenti di lembaran kertas dan regulasi: Minim implementasi dan aksi.
Padahal secara geografis Indonesia termasuk daerah rawan bencana. Posisi Indonesia yang berada di “Cincin Pasifik”, tempat bertemunya tiga lempeng tektonik aktif (lempeng Indo- Australia, Eurasia, Pasifik), iklim tropis dan curah hujan tinggi serta dikelilingi oleh laut dengan garis pantai panjang memungkinkan terjadinya bencana alam setiap saat. Belum lagi pengabaian terhadap aktivitas perusakan alam dan deforestasi hutan besar-besaran memperparah kondisi di beberapa wilayah Indonesia, semuanya bisa terdampak, termasuk kelompok rentan (disabilitas).
Ketika tanda tak terlihat dan alarm tak terdengar
Keterbatasan fisik, intelektual, mental dan sensori-motorik yang dialami penyandang disabilitas menjadikan lambatnya penerimaan informasi bencana alam, ditambah dengan keterbatasan motorik yang menyulitkan penyandang disabilitas untuk segera berlindung ke tempat aman, kecuali atas bantuan orang lain.
Kejadian bencana yang cepat dan berbahaya, kiranya akan sulit ketika mengantungkan penyelamatan orang lain, tanpa ada mekanisme mitigasi bencana yang terencana dan terstruktur dari pemangku kebijakan.
Di Sumatra Utara misalnya, seorang penyandang disabilitas tunarungu menceritakan bagaimana ia tidak mendengar sirene peringatan ketika air mulai naik. Ia baru tersadar setelah tetangga mengetuk jendela rumahnya. Sedangkan, dalam bencana Aceh, seorang lansia dengan disabilitas mobilitas terjebak di dalam rumah hampir tiga jam sebelum tim penyelamat datang. Situasi ini menggambarkan tentang bagaimana sistem peringatan bencana kita belum inklusif.
Parahnya lagi, peringatan bencana alam yang disampaikan kepada masyarakat hanya sekedar formalitas, tanpa ada upaya nyata untuk mengajak masyarakat untuk berlindung ke tempat aman. Hal ini yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia dan beberapa masih dalam proses pencarian.
Camp Pengungsian yang ala Kadarnya
Berdasarkan data Koalisi Inklusi dan OPDIS terdapat 126 orang penyandang disabilitas dan kelompok rentan di Aceh. Kita tahu bahwa bencana alam ini juga terjadi di Sumatra Utara dan Sumatra Barat, lantas mana datanya? Hal demikian menunjukkan bahwa jeritan penyandang disabilitas dan kelompok rentan benar-benar belum menjadi prioritas dalam setiap tragedi bencana.
Bayu Satria, Founder YouthID Foundation mengungkapkan bahwa pengungsian yang ada belum ramah difabel dan bantuan spesifik masih minim. Alat bantu bagi penyandang disabilitas seperti tongkat, kursi roda dan popok dewasa belum tersedia di tempat pengungsian. Selain itu, informasi visual bagi penyandang disabilitas tunarungu juga belum ada.
Padahal Undang-Undang No 8 tahun 2016 telah mengamanatkan bahwa penanganan bencana bagi penyandang disabilitas berhak atas: informasi yang mudah diakses akan adanya bencana, mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana, mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan bencana, mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan evakuasi yang mudah diakses, dan mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah diakses di lokasi pengungsian.
Untuk itu, pengawalan terhadap amanat Undang-Undang perlu menjadi perhatian bersama, agar kelompok rentan dan penyandang disabilitas mendapatkan haknya sebagai warga negara yang berdaulat.
