Jauh sebelum seorang anak menginjakkan kaki di sekolah, rumah adalah fondasi utama bagi perkembangan mereka. Di sanalah bahasa pertama mereka terbentuk, rasa ingin tahu mereka mulai membuncah, dan imajinasi mereka mulai mekar. Bagi saya pribadi, buku adalah pemicu utama imajinasi tersebut. Kakek saya (saya memanggilnya inyiak), dengan sabar membekali saya dengan berbagai bacaan—mulai dari saya duduk di pangkuannya hingga saya kuliah.
Buku memiliki kekuatan luar biasa untuk mendorong perkembangan anak, seringkali menjadi satu-satunya alat yang dibutuhkan orang tua untuk berperan sebagai guru. Agaknya kita perlu menjadikan 2026 sebagai Tahun Membaca Nasional. Ini bukan hanya misi untuk sekolah dan perpustakaan, melainkan untuk kita semua. Jika kita ingin anak-anak mencintai buku, kita harus menunjukkan kepada mereka bahwa kita juga mencintainya.
Anak-anak yang rutin membaca terbukti lebih unggul di sekolah, memiliki kosakata yang lebih kaya, bahkan menikmati peningkatan kesehatan mental dan kesejahteraan. Namun, mirisnya, dalam beberapa tahun terakhir, minat anak-anak untuk membaca demi kesenangan terus menurun. Faktanya, hanya sepertiga anak yang mengatakan mereka menikmati membaca.
Penurunan ini adalah alarm keras yang harus kita tanggapi—dan membalikkan tren ini adalah tanggung jawab kita bersama: pemerintah, sekolah, dan terutama orang tua. Sebagai sekretaris negara untuk pendidikan dan seorang ibu dari dua anak kecil, saya merasa memiliki tanggung jawab besar untuk memberi contoh.
Maka dari itu, mari kita semua luangkan waktu untuk membaca—meskipun hanya 10 menit sehari. Lakukanlah di mana anak-anak kita bisa melihat kita: di rumah, di sofa, atau bahkan di dalam bus. Kebiasaan kita menular. Biarkan mereka melihat kita terpikat oleh sebuah cerita, sehingga mereka pun akan tergerak untuk menemukan keajaiban dunia literasi itu sendiri.
Membaca itu tak selalu harus berat; yang penting, ia harus membuat kita merasakan sesuatu. Saya, misalnya, bisa berpindah dari dunia Sherlock Holmes ke intrik Hercule Poirot tanpa merasa sedang melakukan kewajiban. Saya hanya ingin tahu siapa pelakunya! Intinya memang di situ: membaca seharusnya jadi hal yang menyenangkan.
Beberapa buku meninggalkan jejak abadi dalam hidup saya. Saat jadi mahasiswa sastra Inggris, Wuthering Heights membuka mata saya pada sastra yang liar, penuh gairah, dan mengguncang jiwa. Sementara itu, Swing Time karya Zadie Smith mengingatkan saya betapa kompleks dan menariknya identitas serta persahabatan.
Kini, sebagai orang tua, saya berkesempatan menemukan kembali kegembiraan membaca bersama anak-anak saya. Kami tertawa bersama saat membaca The Gruffalo dan hanyut dalam petualangan Tracy Beaker. Kisah-kisah yang kami bagi ini telah menjadi bagian dari bahasa keluarga kami—sumber referensi, kenyamanan, dan pemantik percakapan.
Namun, saya sadar tidak semua keluarga merasakan kemudahan dalam membaca. Tidak setiap rumah dipenuhi buku, dan tidak semua orang tua merasa percaya diri membaca nyaring. Waktu sering kali terbatas, dan uang bahkan lebih terbatas lagi.
Tahun Membaca Nasional adalah inisiatif yang berfokus pada dukungan dan kesempatan untuk menyemai budaya membaca. Beberapa negara semisal Irlandia, sebagai misal, peran National Literacy Trust fungsional membekali sekolah, perpustakaan, dan kelompok masyarakat agar dapat mengintegrasikan membaca lebih dalam ke dalam kehidupan sehari-hari.
Membaca adalah kunci universal yang membuka pintu setiap mata pelajaran. Tanpa kemampuan membaca dan memahami ide-ide kompleks, mustahil untuk unggul dalam sains, sejarah, bahkan matematika. Namun, lebih dari itu, membaca membentuk empati. Ia memungkinkan anak-anak untuk merasakan pengalaman orang lain, memahami perspektif yang berbeda, dan membayangkan masa depan yang lebih beragam.
Di era penuh gangguan, di mana waktu layar terus meningkat dan rentang perhatian menyusut, kita perlu membuat pilihan yang sadar. Faktanya, anak-anak tetap mencintai cerita—ini tak pernah berubah. Tugas kita adalah menyediakan ruang agar cerita-cerita itu dapat didengar dan dinikmati.
Mari kita mulai hari ini. Mari kita jadikan membaca terlihat lagi. Ajaklah anak-anak kita berdiskusi tentang apa yang sedang kita baca. Mari kita jadikan membaca sebagai aktivitas bersama—bukan sekadar perintah yang harus mereka lakukan sendiri.
Tahun Membaca Nasional lebih dari sekadar seruan untuk bertindak; ini adalah undangan: untuk menemukan kembali kegembiraan cerita, untuk menjalin koneksi lebih dalam dengan anak-anak kita, dan untuk memimpin dengan memberi contoh. Pada akhirnya, anak-anak belajar mencintai buku bukan karena disuruh, melainkan karena mereka melihat orang-orang yang mereka cintai asyik membacanya.