Minggu, Oktober 12, 2025

Madilog

Gilang Ramadhan Hardiatmaja
Gilang Ramadhan Hardiatmaja
seorang pembaca yang mencoba menulis
- Advertisement -

Tan Malaka sebagai Pahlawan yang sering disalahpahami adalah seseorang yang mencintai ilmu pengetahuan dan mencintai Indonesia. Dia  dengan pemikiran yang revolusioner telah menghasilkan banyak tulisan yang mempengaruhi pemikiran dari para tokoh pergerakan kemerdekaan.

Tulisan-tulisan tan malaka telah  menjadi suatu warisan intelektual yang tak lekang dimakan zaman, salah satunya  melalui karyanya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Ditulis pada masa genting Pendudukan Jepang (1942–1943), buku ini bukan sekadar kajian filsafat, melainkan sebuah manifesto epistemologis—panduan berpikir—yang ia tujukan kepada masyarakat indonesia sebagai suatu alat berpikir yang dapat di gunakan bukan hanya merebut kemerdekaan namun juga sebagai alat untuk mengisi kemerdekaan .

Jantung filosofi Madilog terletak pada bab “Dialektika,” yang menjadi kerangka pemikirannya. Dialektika versi Tan Malaka adalah upaya radikal untuk menancapkan cara berpikir yang kritis dan ilmiah di tengah masyarakat Indonesia yang, menurutnya, masih diselimuti “Logika Mistika”. Tujuannya jelas: menciptakan Pandangan Dunia (Weltanschauung) yang kokoh bagi pergerakan kemerdekaan.

Dialektika Materialis: Hukum Gerak Benda

Tan Malaka mendefinisikan Dialektika sebagai  “Ilmu Berpikir dalam Gerakan”. Inti sari pemikirannya membalikkan total Dialektika Idealis ala Hegel. Jika Hegel meletakkan  Idee (pikiran) sebagai penentu realitas, Tan Malaka, mengikuti Marx, menegaskan bahwa pergaulan (masyarakat/kondisi material) yang menentukan pikiran, bukan sebaliknya.

Dialektika dalam Madilog menuntut kita untuk menerima satu hukum berpikir yang fundamental: A boleh jadi Non-A. Hukum ini berlaku di semua benda yang bergerak dan berubah. Tan Malaka dengan jitu mengilustrasikannya melalui analogi air yang dipanaskan menjadi uap dalam ketel lokomotif. Pada suhu tepat 100°C, air itu bisa (karena akan menjadi uap yang menggerakkan lokomotif) dan tidak bisa (karena belum sepenuhnya menjadi uap) memutar roda10.

Inilah Dialektika: berpikir dalam momen transisi, gerakan, pertentangan (kontradiksi), dan tempo (waktu). Dialektika Materialistis ini, baginya, adalah satu-satunya senjata yang mampu membedah dan meruntuhkan tatanan lama. Pemikir borjuis dan feodal,yang  masih bergantung pada Dialektika Mistika, yang meluhurkan rohani dan mengabaikan realitas benda. Dengan menempatkan  Materialisme sebagai dasar—materi memiliki sifat bergerak dan berhenti—maka Dialektika menjadi hukum gerak, dan Logika menjadi hukum berhenti, yang keduanya bergantung pada benda.

Perlantunan dan Aksi (Dari Pikir-Pikir ke Gerak)

Kekuatan sekaligus titik kritis dalam Dialektika Madilog terletak pada konsep Perlantunan (Melantun) dan peran sentral Perbuatan (Aksi). Tan Malaka menjelaskan bahwa kondisi material (Benda), seperti keadaan ekonomi dan politik, menjadi dasar yang membayang ke atas menjadi Paham (pikiran). Paham ini kemudian melantun untuk mengubah dasar (kondisi material) melalui Perbuatan. Ia menolak tuduhan bahwa pemikiran Marxis bersifat mekanis—yakni hanya menerima pengaruh benda secara pasif—dengan menegaskan bahwa Paham manusia dalam masyarakat tidak saja menjadi alat adanya pikiran itu, tetapi sebaliknya melantun jadi alat adanya Masyarakat Baru.

Di sinilah dialektika Tan Malaka bertransformasi dari sekadar metode analisis menjadi doktrin perjuangan. Perlantunan pikiran melalui Perbuatan adalah jembatan yang menghubungkan teori filsafat dengan praktik revolusioner.Namun, secara kritis, kita perlu mempertanyakan: Bagaimana jika Paham yang melantun itu menemui kegagalan?

Tan Malaka meyakini bahwa Paham Komunis yang lahir dari masyarakat semi-kapitalistis Rusia sebelum 1917, pada akhirnya berhasil melantun menjadi masyarakat Soviet. Keyakinan akan keberhasilan aksi adalah motor Madilog. Akan tetapi, dalam sejarah Indonesia sendiri, aksi-aksi revolusioner Tan Malaka sering kandas atau dibajak. Jika dialektika adalah hukum gerak yang niscaya, maka kegagalan aksi harus dipandang sebagai kontradiksi baru—thesis (ideologi) bertemu antithesis (realitas yang lebih kompleks), menghasilkan synthesis (kondisi baru) yang tidak selalu sesuai dengan rencana awal.

Dialektika Madilog cenderung menonjolkan sifat necessity (keniscayaan) dari perubahan sosial, padahal realitas sejarah juga dipenuhi contingency (kontingensi) atau ketidakpastian. Dengan kata lain, meskipun Madilog menolak determinisme mekanis, ia tetap memuat determinisme teleologis (tujuan akhir) yang kuat—bahwa Dialektika Materialis akan memenangkan kaum Proletar. Analisis kritis modern harus meninjau ulang seberapa besar ruang kegagalan dan ketidakpastian diakomodasi dalam kerangka Perlantunan ini.

- Advertisement -

Dikotomi Logika dan Dialektika

Tan Malaka berpendapat bahwa Logika (seperti ilmu alam dan matematika) adalah “hukum berhenti” (A=A) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang diselimuti kegaiban . Namun, Logika harus dibentuk di dalam iklim Dialektik. Meskipun Tan Malaka secara tegas menghargai pentingnya Logika untuk melawan mistika, tapi dengan membatasinya sebagai “hukum berhenti” yang berada di bawah naungan Dialektika (hukum gerakan), ia berpotensi meremehkan kompleksitas Logika modern21.

Ilmu pengetahuan (Science) modern, yang Logika memuncak padanya, bukanlah entitas statis22. Bahkan Logika Formal, Logika Simbolik, dan Logika Matematika telah berkembang menjadi alat analisis gerakan yang sangat canggih—misalnya dalam pemodelan sistem non-linear atau teori relativitas Einstein, di mana Tan Malaka sendiri mencatat adanya prinsip A boleh Non-A.Pembedaan yang terlalu kaku antara gerak (Dialektika) dan berhenti (Logika) berisiko gagal menangkap perkembangan ilmu pengetahuan abad ke-20 dan ke-21. Jika Logika hanya diakui sebagai cara berpikir tentang hal yang “berhenti” atau “pasti,” maka Tan Malaka telah meletakkan batas yang terlalu rendah pada potensi Logika sebagai alat pembebasan intelektual, meskipun alasannya untuk memprioritaskan Dialektika (hukum gerak dan kontradiksi) dalam konteks perjuangan adalah suatu yang dapat dimaklumi.

Penutup: Warisan Dialektika untuk Masa Kini

Terlepas dari kritik tersebut, Dialektika dalam Madilog adalah warisan intelektual yang tak ternilai harganya bagi bangsa Indonesia. Ia bukan sekadar salinan filsafat Barat ; ia adalah upaya serius untuk menghasilkan senjata berpikir yang berakar pada iklim dan sejarah Indonesia Madilog mengajarkan bahwa perubahan adalah  suatu keniscayaan, kontradiksi adalah mesin penggerak, dan kenyataan (materi) adalah dasar yang tak terbantahkan.

Bagi generasi kini, dialektika Tan Malaka masih sangat  relevan sebagai salah satu alat berpikir karena bagaimanapun di negeri indonesia yang telah merdeka ini logika mistika masih kuat menguasai pemikiran sebagian masyarakat dalam  menangapi fenomena yang terjadi dimasyarakat. Madilog menuntut kita untuk tidak hanya memikirkan kondisi material (Materialisme) atau memahami perubahan (Dialektika), tetapi juga bertindak mengubahnya (Logika yang diarahkan Aksi). Inilah tiga serangkai yang, menurut Tan Malaka, akan terus relevan sampai kapan pun: sebuah siklus tak berujung antara Benda, Paham, dan Perbuatan.

Gilang Ramadhan Hardiatmaja
Gilang Ramadhan Hardiatmaja
seorang pembaca yang mencoba menulis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.