Rabu, Oktober 1, 2025

Melawan Stigma: Kritik Korupsi Bukan Soal ‘Tak Kebagian Jatah’

Fajri Jandika Putra
Fajri Jandika Putra
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta
- Advertisement -

“Ah, paling yang koar-koar soal korupsi itu karena nggak kebagian aja.”

Kalimat seperti ini sering berseliweran dalam percakapan sehari-hari. Sekilas terdengar ringan, tapi sebenarnya menyimpan racun berbahaya: masalahnya jadi bergeser, pelaku korupsi tampak wajar, sementara pengkritik justru dianggap bermasalah. Akibatnya, kritik terhadap korupsi seolah tak pernah lahir dari kepedulian pada keadilan, melainkan semata karena iri hati.

Normalisasi Korupsi

Di banyak ruang kekuasaan, praktik bagi-bagi jabatan, proyek, hingga uang negara seakan lumrah. Korupsi tak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, melainkan sekadar “rezeki tambahan.” Inilah mentalitas berbahaya. Ketika masyarakat terbiasa memaklumi, kritik otomatis dipelintir seolah salah niat. Padahal, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 menegaskan korupsi sebagai extraordinary crime. Artinya, negara menuntut pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara luar biasa, bukan dibenarkan sebagai kebiasaan sehari-hari.

Stigma “ribut karena tidak kebagian” membawa efek domino yang merusak. Ia membunuh idealisme generasi muda, membalik logika moral, dan menutup ruang kontrol sosial. Pada titik tertentu, masyarakat menjadi semakin permisif. Alih-alih menolak, publik justru memaklumi korupsi sebagai bagian dari “aturan main.”

Mengapa stigma ini bisa bertahan? Salah satunya karena masyarakat sudah terlalu sering disuguhi kasus korupsi hingga muncul sikap pasrah. Publik terus digempur kasus-kasus besar belakangan ini: dari dugaan korupsi PT Pertamina, skandal tata niaga timah, proyek BTS Kominfo, hingga kasus penyaluran bansos. Kerugian negara yang ditimbulkan bervariasi, mulai dari miliaran hingga ratusan triliun rupiah. Deretan peristiwa semacam ini terus mengisi ruang publik, tapi alih-alih memicu perlawanan, justru menumbuhkan rasa lelah dan apatis. Kasus-kasus demikian membuat publik kian terbiasa melihat korupsi seolah bagian dari sistem, padahal justru di titik inilah kesadaran kolektif harus digugah kembali.

Ketidakpercayaan Publik

Corruption Perceptions Index atau Indeks Persepsi Korupsi 2024 menempatkan Indonesia di skor 37/100 dan berada di peringkat 99 dari 180 negara. Angka ini menunjukkan rendahnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi. Sejalan dengan itu, François Valérian, Ketua Transparency International, mengingatkan bahwa korupsi adalah penyebab utama menurunnya demokrasi, ketidakstabilan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Data tersebut bukan sekadar angka di atas kertas; ia nyata terasa dalam kehidupan sehari-hari. Pungutan liar di jalan, urusan birokrasi yang kotor, hingga praktik “uang pelicin,” menjadi bagian dari pengalaman banyak orang. Tak jarang, kita mendengar komentar sinis, “Semua orang juga begitu.”

Ironisnya, bahkan ruang yang seharusnya suci seperti ibadah pun tidak luput dari permainan kotor. Jika untuk beribadah saja masih ada yang tega dikorupsi, artinya tidak ada lagi batas moral yang tersisa. Korupsi benar-benar telah menjelma menjadi penyakit yang menembus dapur, sekolah, rumah sakit, bahkan rumah ibadah.

Di sisi lain, publik juga sering meragukan ketulusan kritik karena memang ada pejabat atau kader partai yang baru berteriak setelah tersingkir dari lingkaran kekuasaan. Fenomena semacam ini memperkuat keyakinan bahwa kritik hanyalah “politik balas dendam.”

Namun anggapan itu tidak boleh mengaburkan fakta bahwa korupsi bukan sekadar rebutan jatah elit. Ia adalah perampasan kepentingan rakyat dengan keji. Saat dana bantuan sosial diselewengkan, masyarakat kecil kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang layak. Sayangnya, mentalitas transaksional membuat kesadaran ini sering kalah oleh pembenaran pragmatis.

- Advertisement -

Saat menonton berita korupsi di televisi, atau sekadar scroll di media sosial, banyak orang hanya bergumam, “ah, korupsi lagi,” lalu mengganti saluran atau melewati postingan tersebut. Gambaran ini menunjukkan betapa dalamnya kepasrahan publik. Jika dibiarkan, publik akan semakin abai dan ruang kritik makin menyempit.

Oleh karena itu, penting untuk membongkar cara pandang keliru ini. Korupsi harus ditegaskan kembali sebagai kejahatan luar biasa yang merampas hak orang banyak, bukan sekadar urusan “jatah” segelintir orang. Suara kritis dari mahasiswa, jurnalis, akademisi, maupun masyarakat sipil harus dilindungi dan dihargai, bukan dicurigai. Tanpa ruang bagi kritik, korupsi hanya akan semakin mengakar.

Membangun Perlawanan

Upaya nyata pemberantasan korupsi bisa dimulai dari pendidikan antikorupsi sejak dini di sekolah dan kampus, agar integritas tumbuh bukan sekadar jargon. Generasi muda harus dibiasakan menolak cara-cara instan: tidak mencontek, tidak mengakali absen, bahkan belajar tepat waktu agar tidak “mengkorupsi” waktu orang lain. Kecil memang, tapi di situlah bibit antikorupsi dirawat.

Media juga perlu diberi dukungan agar berani mengungkap kasus tanpa ancaman pembungkaman, sementara perlindungan bagi whistleblower harus dijalankan sungguh-sungguh, bukan sekadar formalitas di atas kertas. Pada saat yang sama, pemerintah wajib membuka transparansi penuh, dari anggaran, proyek, hingga audit, sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi dan menutup celah praktik kotor.

Korupsi tidak akan tumbang hanya dengan pidato pejabat atau spanduk peringatan. Ia baru benar-benar goyah ketika pendidikan, partisipasi masyarakat, media, dan negara berjalan seiring. Diam hanya akan membuat korupsi merasa abadi; perlawanan, sekecil apa pun, adalah pengingat bahwa bangsa ini belum menyerah untuk menjadi lebih baik.

Korupsi adalah merampok hak publik dengan cara yang paling busuk, menghancurkan masa depan bangsa, dan merusak sendi kehidupan. Karena itu, siapa pun yang berani bicara soal korupsi seharusnya dihargai, bukan dicurigai. Jika tidak, kita sedang membiarkan maling merajalela di rumah sendiri, sementara kita sibuk menuduh tetangga iri karena tak ikut menikmati hasil curian.

Fajri Jandika Putra
Fajri Jandika Putra
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.