Sabtu, September 27, 2025

Birokrasi yang Beretika

Durohim Amnan
Durohim Amnan
Founder Societas Law Office dan bekerja sebagai tim hukum Kantor Hukum Persepsi Yogyakarta.
- Advertisement -

Mengapa etika pejabat yang seharusnya sakral dan luhur kemudian menjadi rendah dan seakan tak berarti di republik ini. Begitu banyak perangai pejabat yang secara senonoh menerabas etika tanpa memerdulikan jabatan publik yang diemban. Mulai dari lima pejabat parlemen yang dinonaktifkan -sebagai akibat meluasnya aksi demonstrasi- yang sampai hari ini tak kunjung jua mengundurkan diri. Hingga peristiwa pertemuan antara Menteri Kehutanan (Menhut) yang sekaligus Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 1 September 2025 dengan Aziz Wellang -mantan tersangka kasus perusakan lingkungan- sebagai pengusaha hutan yang begitu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflic of interest).

Ketiadaan etika dari Menhut kian menjadi-jadi karena dilangsungkan pada saat gelombang aksi demonstrasi belum mereda. Nihilnya kepekaan etis terhadap kondisi kesulitan rakyat mengakibatkan resiko moral (moral hazard) yakni semacam pameran imoralitas dari seorang pejabat negara. Pasca pertemuan berlangsung, Menteri tersebut bukannya meminta maaf kepada publik dan mengundurkan diri sebagi pilihan etis, melainkan justru berkelit dengan pelbagai apologi. Pembelaan kian memperunyam keadaan sekaligus menunjukkan betapa rendahnya etika pejabat di republik ini. Kendati hukum mungkin saja tidak pernah mendiskusikan perilaku semacam itu namun keadilan akan selalu mempersoalkannya sebagai problem etis.

Etika pemimpin negeri lain 

Halaman utama harian kompas (8/9/2025) menggambarkan bagaimana keadaban pejabat publik dipraktekkan dengan mengeyampingkan ambisi jabatan demi sebuah kemuliaan yaitu keutamaan politik (political virtue). Wakil Perdana Menteri Inggris (Wakil PM Angela Rayner) dan Perdana Menteri Jepang (PM Shigeru Ishiba) misalnya, mereka memaknai keutamaan politik dengan cara tidak memperlakukan jabatannya seolah harga mati. Sebab jauh diatas jabatannya, terdapat amanah suci yaitu bahwa merawat peradaban bangsa melalui perintah moral (moral imperative) sebagai dalil primer kepemimpinan.

Ketika Angela Rayner mengakui lalai membayar kekurangan pajak pembelian rumah, keputusan untuk meminta maaf serta pengunduran diri mempertegas tekad bulatnya tanpa berkilah apalagi berapologi menutupi borok perilakunya. Pun demikian dengan Shigeru Ishiba, dalam rangka mengindari meluasnya segregasi politik, politisi dari Partai Demokrat Liberal (LDP) itu lebih memilih melucuti jabatannya yang bahkan belum genap setahun, demi sebuah kebijaksanaan yakni memelihara kohesi bangsa. Melalui keputusan itu, Shigeru Ishiba mengikuti tapak tilas pendahulunya -PM Fumio Kishida dan PM Shinzo Abe- yang juga melepas jabatan publiknya demi menapis sensasi terhadap kekuasaan.

Perilaku pejabat di negeri asing tadi mempertontonkan sedemikian pentingnya memahami hakekat seorang pemimpin. Pemimpin mendedikasikan sepenuh hidupnya demi kepentingan bangsa dan kesejahteraan banyak orang. Seorang pemimpin bergelut dengan visi dan ide yang membuahkan pandangan lintas zaman melalui pertimbangan-pertimbangan kompeks sehingga mampu memproduksi kebajikan berserta kesadaran akan resiko yang mungkin diterima -termasuk keputusan eksistensial pengunduran diri.

Oleh sebab itu, pemimpin hanya disebut leader bila kecapakannya dalam membaca kondisi, tantangan, berserta implikasinya berdaya menghasilkan sebuah order yaitu pranata kehidupan berbangsa. Berbeda halnya dengan dealer yang memang sekedar bermental medioker karena keterbatasan jarak penghilatannya -bagaikan jarak pandang ayam rabun. Mental medioker semacam itulah yang tengah mengalumuni resam tubuh republik hari-hari ini.

Integritas seorang pemimpin

Perombakan kabinet pemerintahan Prabowo patut kita soroti dalam konteks apakah hak prerogatif digunakan untuk memilik sosok seorang leadership atau sekedar dealership. Konon, terdapat sanksi tegas dari Presiden menyoal watak menteri yang tidak selaras dengan himbauannya: “pejabat harus peka dan sensitif dengan kondisi kesulitan rakyat serta tidak boleh menampilkan kemewahan …”. Belakangan, perangai menteri baru yang mengerdilkan tuntutan 18+7 pun sampai sekarang belum ada respon nyata dari Presiden. Publik tengah menanti tekad bulat Presiden yang bukan hanya diukur dalam tutur kata melainkan dalam bentuk tindakan nyata (satyawacana). Hanya dengan cara itu watak dealership diuji sekaligus dipertaruhkan.

Apabila Presiden betul-betul ingin menjalankan roda pemerintahan yang menunjukkan sikap kesetiaan pada ucapan maka langkah tegas menghukum para pembantunya yang dianggap menyeleweng dari partitur kepemimpinannya dan tidak sensitif pada situasi kesulitan rakyat adalah harga yang tidak boleh ditawar. Perilaku inilah yang menunjukkan apakah seorang pemimpin dikatakan berintegritas atau bermental kerupuk. Integritas artinya kesesuaian antara tutur dan laku.

Dalam hal ini, pertanggungjawaban Presiden sebagai bentuk penghormatan pada moralitas publik tidak sekedar memenuhi tuntutan 18+7 melainkan sebagai lokasi pertaruhan etik. Lokasi tadi semata-mata hendak memastikan berlangsungnya sistem meritokrasi dalam mekanisme pemilihan para pembantunya. Meritokrasi adalah sistem perekrutan yang didasarkan pada kualitas, kapasitas, dan kapabilitas, untuk memulai laju birokrasi yang beretika. Sistem pemilihan ini menapis basa-basi tentang transaksi kolusi, nepotisme, patrimonialisme, pragmatisme, patron-klien, sebab etika birokrasi mengandaikan adanya kesempurnaan proses rekrutmen pejabat publik.

Kementerian etika

Pungkasnya adalah daripada Presiden mencurahkan energi dan waktunya membentuk kementerian haji yang sebetulnya tidak memiliki urgensi dan relevansi maka akan lebih masuk akal bila Presiden membentuk semacam ‘Kementerian Etika’ yang mengurusi pemupukan budaya integritas dan etika pejabat yang justru sangat genting dan signifikan untuk menggawangi kelayak-pakaian postur kabinet pemerintahan. Kita bisa menyontoh bagaimana masyarakat eropa melalui Perjanjian delapan lembaga dan badan penasihat Uni Eropa pada tanggal 15 Mei 2024, telah menyepakati pembentukan Badan Etika Antarlembaga (commission.europa.eu)

- Advertisement -

Pembentukan Kementerian Etika tidak saja menyuplai energi etika birokrasi namun lebih dari itu yakni menjamin purifikasi antara norma etika (ethical norm) dan norma hukum (legal norm) sebagai imperatif negara demokrasi konstitusional Indonesia. Saran ini sejalan dengan pemikiran Jimly Asshiddiqie (2017) dalam bukunya “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi” tentang pentingnya membentuk peradilan (kementerian) etika sebagai penuntun jalannya roda pemerintahan.

Maka demikian, disamping relevansi membenahi kinerja pemerintahan melalui pengetatan asas keterbukaan, pelayanan yang baik, kemanfaatan, kepentingan umum kedalam bentuk kebijakan. Namun juga aktualisasi asas menghindari konflik kepentingan wajib dan harus dilakukan melalui pembentukan kementerian etik dalam rangka menjamin penghormatan pejabat terhadap moralitas publik. Upaya ini dilakukan demi menghindari perilaku pejabat publik yang amoral dan nir-etika seperti yang tengah terjadi dewasa ini.

Durohim Amnan
Durohim Amnan
Founder Societas Law Office dan bekerja sebagai tim hukum Kantor Hukum Persepsi Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.