Through the Looking-Glass (1871) bukan sekadar cerita fantasi biasa. Novel ini membuka gerbang menuju dunia surealis di mana logika terbalik, bahasa menari-nari dalam kekacauan, dan identitas bergeser tak terduga. Di tengah anomali ini, muncul ketegangan inti: benturan antara kepolosan anak-anak yang diwakili oleh Alice, dan otoritas serta kontrol yang dipancarkan oleh karakter dewasa. Melalui kacamata teori oposisi biner Claude Lévi-Strauss, studi ini menyelami bagaimana kontras mendalam antara dunia anak dan dewasa terungkap, sekaligus mengungkap strategi cerdik Alice dalam menghadapi dominasi ini.
Menurut Lévi-Strauss (1963), makna sejati dalam narasi tidak muncul dari elemen-elemen yang terisolasi, melainkan dari kontras yang tajam—oposisi biner—yang menjadi fondasi mitos dan teks budaya. Dalam Through the Looking-Glass, pembagian antara anak dan dewasa jauh melampaui perbedaan usia semata; ini adalah pertarungan fundamental dalam cara berpikir, bertindak, dan sistem nilai yang dianut.
Benturan Logika: Alice Melawan Ratu Merah
Ratu Merah berdiri sebagai personifikasi kekakuan dan kontrol dunia dewasa. Ia adalah figur disipliner yang taat pada sistem abstrak, bergerak mengikuti logika papan catur, mengagungkan kecepatan di atas refleksi, dan menempatkan formalitas di atas pemahaman. Ilustrasi paling jelas dari filosofi Ratu ini adalah pernyataannya yang terkenal: “Sekarang, di sini, Anda lihat, semua lari yang bisa Anda lakukan hanya untuk tetap di tempat yang sama. Jika Anda ingin pergi ke tempat lain, Anda harus lari setidaknya dua kali lebih cepat dari itu!”. Bagi Ratu Merah, ini adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Namun, bagi Alice, perkataan itu adalah paradoks yang membingungkan dan tidak logis. Momen ini secara dramatis menggambarkan oposisi antara perspektif anak yang intuitif dan pemaksaan sistem abstrak, yang seringkali kontradiktif, oleh orang dewasa. Kebingungan Alice sendiri merupakan bentuk penolakan terhadap penerimaan buta.
Ratu Merah tanpa henti mengarahkan perilaku Alice, menekankan protokol, efisiensi, dan kepatuhan tanpa memberikan alasan yang jelas. Sebaliknya, Alice menanggapi dengan kesopanan yang dibumbui kebingungan, berulang kali mencoba terlibat dalam dialog yang berarti. Responsnya mencerminkan keinginan alami seorang anak akan kejelasan dan pemahaman, bukan sekadar kepatuhan. Oposisi ini tidak diselesaikan pada akhir cerita; bahkan ketika Alice secara simbolis “dinobatkan” sebagai ratu, upacara tersebut runtuh menjadi kekacauan dan absurditas, secara efektif merongrong otoritas yang seharusnya dirayakan.
Cermin Irasionalitas: Alice dan Ratu Putih
Jika Ratu Merah menampilkan sisi otoriter dari kedewasaan, interaksi Alice dengan Ratu Putih membuka tirai ke dimensi lain dari oposisi anak vs. dewasa. Ratu Putih bukan representasi kontrol yang kaku, melainkan perwujudan logika dewasa yang irasional, pemahaman waktu yang terputus-putus, dan gejolak emosi yang tak terduga. Ia percaya bahwa ingatan bisa bekerja “mundur”, mampu mengingat kejadian sebelum itu terjadi—sebuah anomali khas dunia
Looking-Glass yang membingungkan Alice. Bagi Alice, waktu adalah garis lurus yang terikat pada pengalaman, sehingga gagasan mengingat masa depan terasa asing dan tidak dapat diterima. Perilaku Ratu Putih yang seringkali tak masuk akal, seperti menangis sebelum jari-jarinya tertusuk jarum , menyoroti bagaimana logika dewasa dalam dunia
Looking-Glass secara fundamental menentang pemahaman intuitif anak tentang cara kerja dunia. Alice tidak pernah pasif menerima penjelasan semacam ini; kebingungannya yang terus-menerus justru menjadi bentuk resistensi naratifnya. Kontras ini semakin tajam dengan kondisi emosional Ratu Putih yang tidak stabil, sering kali meledak dalam tangisan tanpa sebab yang jelas. Hal ini sangat kontras dengan sikap Alice yang tenang dan rasional, secara ironis membalikkan peran tradisional di mana orang dewasa biasanya digambarkan lebih terkontrol secara emosional dibandingkan anak-anak.
Alice dan Ratu Putih: Logika Terbalik dan Emosi Berantakan
Ketika Ratu Merah mewakili dominasi otoriter kedewasaan, Ratu Putih membuka sisi lain dari dikotomi anak vs. dewasa. Ia menampilkan esensi logika orang dewasa yang tidak rasional, persepsi waktu yang kacau, dan ledakan emosi yang tak terduga. Ratu Putih bahkan meyakini kemampuan untuk “mengingat” masa depan — sebuah keanehan khas dunia
Looking-Glass yang sepenuhnya membingungkan Alice. Bagi Alice, waktu adalah entitas linier yang terikat erat pada pengalaman dan memori, membuat gagasan mengingat peristiwa yang belum terjadi terasa absurd dan tidak dapat diterima.
Tingkah laku Ratu Putih yang seringkali tidak masuk akal, seperti menangis bahkan sebelum jarinya tertusuk, menyoroti bagaimana pemikiran orang dewasa di dunia Looking-Glass secara fundamental menentang pemahaman intuitif anak tentang realitas. Alice tidak pernah pasif menerima penjelasan ini; kebingungannya yang gigih justru berfungsi sebagai bentuk resistensi naratifnya. Kontras ini semakin diperkuat oleh gejolak emosional Ratu Putih yang tidak stabil, yang seringkali meledak dalam tangisan tanpa alasan yang jelas. Hal ini sangat berlawanan dengan ketenangan dan rasionalitas Alice, secara ironis membalikkan peran tradisional di mana orang dewasa secara konvensional digambarkan lebih terkendali secara emosional dibandingkan anak-anak.
Tentu, ini parafrasa yang lebih menarik dan ringkas untuk bagian “Strategi Resistensi Alice” dengan kutipan yang tepat:
Strategi Alice: Perlawanan yang Cerdas di Dunia Absurd
Alice bukanlah boneka pasif di hadapan kontrol dewasa; ia adalah arsitek perlawanan halus yang terus-menerus menegaskan agensinya dan merebut kembali kekuatan interpretasinya.
- Menantang Logika Absurd: Perisai Intelektual Alice
Di tengah hujan pernyataan yang tidak masuk akal, Alice berdiri teguh. Ia tak henti-hentinya mempertanyakan keanehan-keanehan itu, sebuah strategi cerdas yang melindungi logika, identitas, dan otonominya. Ketika Ratu Merah menyampaikan paradoks lari untuk tetap di tempat, Alice dengan tenang membandingkannya dengan prinsip gerak dunia nyata, mengungkapkan ketidakpercayaan dan disonansi kognitifnya. Demikian pula, saat Humpty Dumpty mencoba memonopoli makna kata, Alice dengan tegas mempertanyakan validitas klaimnya. Penolakan Alice terhadap omong kosong ini bukan sekadar penolakan, melainkan deklarasi simbolis melawan dominasi yang ingin dipaksakan padanya.
- Ketenangan Emosional: Kekuatan di Balik Keteguhan
Alice menunjukkan ketenangan emosional yang luar biasa, bahkan saat menghadapi tekanan dan irasionalitas karakter dewasa. Alih-alih terperosok dalam histeria atau agresi, ia memilih respons yang terkendali. Contohnya, ketika Ratu Merah mencerca dirinya, Alice membalas dengan logika, bukan defensif. Ketenangan emosional ini berfungsi sebagai benteng bagi identitas Alice, mencegahnya terseret ke dalam kekacauan emosional dunia dewasa yang tak masuk akal.
- Kesopanan sebagai Taktik Rebut Kekuasaan
Jarang sekali Alice merespons dengan permusuhan. Sebaliknya, ia memilih kesopanan—bahasa yang tenang, pertanyaan yang santun, dan respons yang terukur. Misalnya, ketika Ratu Putih tiba-tiba menjerit, Alice dengan tenang bertanya, “Ada apa?”. Kesopanan ini berfungsi sebagai senjata retoris, meredakan agresi lawan. Humpty Dumpty, misalnya, terungkap ketidaklogisannya bukan karena serangan verbal Alice, melainkan oleh ketenangan dan logikanya. Kesopanan Alice bukanlah kelemahan, melainkan strategi ampuh yang memungkinkannya merebut kembali kendali dalam interaksi tersebut.
- Menegaskan Identitas: Rasionalitas sebagai Kompas Diri
Alice tak gentar menghadapi ketidaklogisan dunia dewasa, senantiasa menggunakan akal, observasi, dan ketepatan linguistik untuk menjaga rasa dirinya. Ketika Humpty Dumpty bersikeras bahwa kata-kata dapat berarti apa pun yang ia pilih, Alice dengan cermat mempertanyakan dasar logikanya. Puncak penegasan identitasnya terjadi di akhir novel, saat Alice dinobatkan sebagai Ratu dan absurditas mencapai puncaknya. Ia dengan tegas menolak kekacauan itu, menyatakan, “Aku tidak tahan lagi!”. Momen ini menandai kemenangan penolakan tegas seorang anak atas kekacauan wacana dewasa.
- Resistensi Anak: Kekuatan yang Diam dan Cerdas
Perlawanan Alice dalam Through the Looking-Glass tidak terwujud dalam pemberontakan atau konfrontasi terbuka, melainkan dalam strategi halus yang berakar pada rasionalitas, ketenangan emosional, dan kemandirian. Ia secara cerdik mempertanyakan aturan tak masuk akal, melepaskan diri dari absurditas, dan dengan teguh mempertahankan identitasnya di tengah kebingungan. Saat berhadapan dengan Ratu Merah atau Humpty Dumpty, ia merespons dengan alasan atau pertanyaan logis, secara efektif mengungkap kontradiksi tanpa konfrontasi langsung. Puncak perlawanan paling kuat terjadi pada perjamuan Ratu yang kacau, di mana Alice secara fisik membalikkan meja, menolak ilusi kontrol orang dewasa. Bahkan dalam interaksinya dengan Tweedledum dan Tweedledee, ia memilih untuk diam-diam melanjutkan perjalanannya daripada memediasi konflik mereka yang tidak berarti. Ini adalah lambang kekuatan halus seorang anak: kemampuan untuk mengenali omong kosong dan menarik diri darinya.
Sebagai kesimpulan, Through the Looking-Glass menyajikan oposisi biner yang kaya dan kompleks antara anak dan dewasa. Lewis Carroll secara brilian menggunakan interaksi Alice dengan karakter dewasa untuk mengeksplorasi ketegangan ini. Melalui strategi-strategi yang tenang namun ampuh—mempertanyakan logika yang absurd, mempertahankan ketenangan emosional, memanfaatkan kesopanan, dan menegaskan identitas rasionalnya—Alice secara efektif menentang otoritas dewasa. Hal ini tidak hanya memperkaya makna naratif, tetapi juga menyoroti kapasitas luar biasa anak-anak untuk agensi dan perlawanan intelektual dalam menghadapi sistem yang tidak koheren.