Di sejumlah besar perusahaan, khususnya di kota-kota besar di Indonesia, bekerja hingga larut malam sering kali dipandang sebagai bukti kesetiaan seorang karyawan. Mereka yang sering pulang malam kerap dianggap sebagai karyawan yang sangat setia, sementara mereka yang pulang sesuai jam kerja terkadang dinilai kurang memiliki komitmen. Kebiasaan ini bukan sekadar muncul begitu saja, melainkan telah tertanam dalam sistem kerja serta cara pandang perusahaan.
Tidak sedikit pihak yang menjadikan lamanya jam kerja sebagai penentu utama penilaian kinerja. Ini bukan lagi tentang menyelesaikan pekerjaan, tetapi lebih kepada harapan sosial yang salah kaprah: bahwa kesetiaan identik dengan mengorbankan waktu pribadi tanpa batas.
Budaya yang menganggap lembur sebagai bentuk loyalitas ini sebenarnya adalah warisan budaya dari cara kerja lama yang berasal di era industrialisasi, di mana tenaga kerja dipandang sebagai masukan yang linear: semakin banyak waktu yang digunakan, semakin besar hasil yang didapatkan. Akan tetapi, di zaman ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi seperti sekarang, pandangan tersebut sudah tidak sesuai lagi. Faktanya, lembur yang berkelanjutan justru menunjukkan adanya ketidakefisienan, manajemen waktu yang buruk, bahkan perencanaan organisasi yang kurang matang.
Banyak riset telah membuktikan bahwa jam kerja panjang tidak identik dengan produktivitas tinggi. Dalam laporan bersama oleh World Health Organization (WHO) dan International Labour Organization (ILO) tahun 2021, ditemukan bahwa bekerja lebih dari 55 jam per minggu meningkatkan risiko stroke sebesar 35% dan risiko penyakit jantung sebesar 17%. Lembur jangka panjang digolongkan sebagai “silent killer” di dunia kerja. Risiko ini tidak hanya menyangkut kesehatan fisik, tetapi juga mental: meningkatnya tingkat stres, kecemasan, dan burnout yang berujung pada turunnya produktivitas jangka panjang.
Fenomena ini juga tercermin dalam data nasional. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 sekitar 15,26% pekerja formal di Indonesia bekerja lebih dari 48 jam per minggu. Ini melampaui batas aman jam kerja mingguan menurut standar ILO. Yang lebih ironis, banyak dari jam kerja ekstra ini tidak dicatat sebagai lembur resmi, apalagi dibayar. Lembur menjadi norma tak tertulis, bukan lagi situasi darurat. Bahkan dalam beberapa kasus, menjadi ekspektasi tersirat dari manajemen kepada karyawan.
Budaya ini diperparah oleh sistem organisasi yang masih sangat hierarkis dan paternalistik. Loyalitas dipahami sebagai kesetiaan absolut kepada pimpinan atau institusi, bukan kepada nilai, visi, atau tujuan profesional. Karyawan yang “berani pulang duluan” kadang dinilai kurang bertanggung jawab, meski semua tugas telah diselesaikan dengan baik. Sementara itu, yang tetap di kantor hingga larut dianggap pekerja keras, walau sekadar “menunggu waktu lewat”.
Sementara itu, negara-negara dengan tingkat produktivitas tinggi justru menerapkan jam kerja yang lebih manusiawi. Jerman, sebagai contoh, memiliki rata-rata jam kerja mingguan sekitar 34-35 jam, namun tetap menjadi salah satu negara dengan produktivitas tertinggi di dunia (OECD, 2022). Di Belanda, konsep part-time economy didorong secara struktural, bahkan di posisi manajerial. Di sana, pulang tepat waktu adalah norma, tanda efisiensi, bukan ketidaksetiaan.
Apa yang membedakan negara-negara ini dengan kita?
Pertama, adanya pergeseran nilai manajerial dari pengukuran input (jam kerja) ke evaluasi berbasis output (hasil kerja). Kedua, adanya kerangka hukum ketenagakerjaan yang kuat dan benar-benar ditegakkan. Ketiga, yang paling penting, adalah budaya organisasi yang menghargai batas pribadi dan keberlanjutan kerja jangka panjang.
Sayangnya, di Indonesia, lembur seringkali menjadi pelarian dari buruknya manajemen perencanaan. Tenggat waktu yang tak realistis, kebijakan mendadak, serta ekspektasi kerja 24/7 membuat lembur menjadi solusi instan. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada budaya pekerja, tetapi juga pada pola pikir para pengambil keputusan.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Kita perlu secara serius mengoreksi cara pandang terhadap loyalitas dalam bekerja. Loyalitas tidak boleh diukur dari berapa lama seseorang duduk di kursi kantor, melainkan dari dedikasi terhadap kualitas, integritas, dan kemampuan menyelesaikan tugas dengan efektif.
Diperlukan pergeseran paradigma organisasi, mulai dari manajemen puncak hingga level operasional. Perusahaan harus mulai membangun sistem penilaian berbasis hasil, bukan jam. Budaya “kerja cerdas” harus dikedepankan dibanding sekadar kerja keras. Bila tidak, kita akan mencetak generasi pekerja yang kelelahan secara kolektif, rentan burnout, dan kehilangan makna dalam bekerja.
Negara juga tidak boleh abai. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 telah mengatur bahwa jam kerja normal adalah 40 jam per minggu dan lembur maksimal hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu. Namun, implementasi dan pengawasannya masih lemah. Pemerintah perlu meninjau ulang praktik lembur di sektor formal, termasuk mendorong insentif bagi perusahaan yang menerapkan work-life balance dengan baik.
Di sisi lain, masyarakat juga harus mengubah narasi sosialnya. Berhenti mengidolakan orang yang lembur terus-menerus seolah itu bentuk keberhasilan. Apresiasi harus bergeser kepada mereka yang bisa menyelesaikan tugas secara efisien, menjaga waktu pribadi, dan tetap produktif tanpa mengorbankan kesehatan mental.
Kini saatnya meninggalkan warisan toxic bernama “lembur sebagai loyalitas.” Kita tidak sedang berlomba menjadi paling lelah. Yang kita butuhkan adalah kerja cerdas, sistem yang adil, dan budaya kerja yang sehat. Jika Anda pimpinan, tunjukkan bahwa loyalitas bukan berarti mengabaikan batas. Jika Anda pekerja, mulai belajar berkata cukup dan jaga hak atas waktu pribadi Anda. Mari kita ubah cara kita bekerja—demi masa depan dunia kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.