Bayangkan sebuah dunia fiksi yang begitu luas dan kaya, dihuni oleh karakter-karakter yang hidup dan bernafas, yang kisahnya saling terkait dan terjalin dalam sebuah tapestry naratif yang epik. Marcel Proust, dengan mahakaryanya yang monumental, bukanlah satu-satunya maestro yang berani menjelajahi dunia mega-novel ini.
Jauh sebelumnya, Balzac telah merajut jagat raya “La Comédie humaine” yang terdiri dari delapan puluh lima novel, sebuah potret kehidupan masyarakat Prancis abad ke-19 yang begitu detail dan memukau. Tak ketinggalan, Trollope menghidupkan kota Barchester yang menawan dalam enam novelnya, serta menggoreskan kisah-kisah politik Inggris yang rumit dalam seri Palliser.
Seperti halnya “La Comédie humaine“, para tokoh dalam karya-karya ini melintasi batas-batas novel, muncul dan menghilang, menua dan berevolusi seiring berjalannya waktu. Mereka bagaikan benang merah yang menghubungkan setiap fragmen cerita, menciptakan sebuah dunia yang terasa begitu nyata dan hidup. Meskipun merupakan bagian dari rangkaian Barchester, “The Last Chronicle of Barset” (1867) tetap berdiri sendiri sebagai sebuah karya yang utuh dan memikat, sebuah bukti kepiawaian Trollope dalam merangkai narasi yang kompleks namun tetap mudah dinikmati.
Bayangkan seorang kurator desa yang sederhana, Tuan Crawley, yang hidupnya terjerumus ke dalam pusaran misteri akibat selembar cek bernilai dua puluh pound. Cek yang seharusnya menjadi solusi atas tagihan yang menumpuk, justru berubah menjadi mimpi buruk yang mengancam reputasi dan masa depannya. Bayangkan keterkejutannya ketika cek tersebut ternyata adalah cek hilang milik seorang bangsawan kaya, Lord Lufton!
Dalam kebingungannya, Tuan Crawley tak mampu menjelaskan asal-usul cek tersebut. Ingatannya yang samar membuatnya terjebak dalam labirin ketidakpastian, antara dicap sebagai pencuri atau dianggap gila. Nasibnya kini bergantung pada seutas benang, di mana kebenaran tentang cek tersebut menjadi kunci untuk menyelamatkan hidupnya, mempertahankan pekerjaannya, dan melindungi keluarganya dari jurang kemiskinan. Mampukah Tuan Crawley mengungkap misteri di balik cek tersebut dan membersihkan namanya sebelum terlambat?
Crawley, sosok yang digambarkan dengan begitu detail dan mendalam, adalah sebuah paradoks yang berjalan. Ia adalah pria antisosial yang terasing dari keramaian, namun di balik kesombongannya tersimpan ketelitian dan kecerdasan seorang sarjana brilian. Ia adalah tiran di rumahnya sendiri, menebar rasa takut pada istrinya yang sebenarnya mencintainya. Namun, di balik sikap kerasnya, tersimpan hati yang penuh belas kasih, meskipun tersembunyi di balik lapisan-lapisan kecacatannya.
Pernikahan Crawley adalah potret menyedihkan dari dua jiwa yang terjebak dalam pusaran ketidakpastian. Sang istri, terombang-ambing antara cinta dan ketakutan, berjalan di atas tali tipis, berusaha memahami dan menyenangkan suaminya yang sulit ditebak. Setiap hari adalah tantangan baru, mencari cara untuk tidak melukai harga diri Crawley yang rapuh. Ironisnya, meskipun hidup di bawah bayang-bayang suaminya, ia meragukan kemampuannya sendiri untuk bertindak mandiri.
Puncak dari tragedi ini terlihat saat Crawley menghadapi tuduhan pencurian. Kebanggaannya yang membutakan membuatnya menolak bantuan pengacara, mengantarkannya pada vonis bersalah meskipun para hakim berusaha keras untuk membebaskannya. Crawley, dengan segala kejeniusan dan kecacatannya, adalah potret manusia yang terjebak dalam perangkapnya sendiri.
Kisah Crawley bagaikan sebuah batu yang dilemparkan ke tengah kolam yang tenang, riak-riaknya menyebar dan mengusik seluruh tatanan kehidupan di kota kecil tersebut. Pertanyaan tentang kesalahan atau ketidakbersalahannya menjadi bahan perdebatan hangat di setiap sudut kota, menguak berbagai sisi masyarakat dan mengungkap rahasia yang terpendam.
Drama persidangan Crawley pun menciptakan gelombang yang tak terduga. Rencana pernikahan Mayor Grantly, seorang bangsawan lokal yang terpikat oleh kecantikan putri Crawley, Grace, tiba-tiba terancam. Bayangan aib menghantui keluarga Grantly, membuat mereka ragu untuk menerima putri seorang terduga pencuri ke dalam keluarga mereka.
Di tengah badai yang menerpa keluarganya, Grace terpaksa menumpang di rumah seorang teman. Takdir membawanya bertemu dengan seorang wanita muda lain yang juga menjadi incaran cinta sepupunya. Jalinan takdir yang rumit ini diorkestrasi dengan mahir oleh Trollope, sang maestro penceritaan. Ia dengan lihai memainkan emosi pembaca, membuat mereka terlibat dalam permasalahan-permasalahan yang seolah remeh temeh, namun pada akhirnya menuntun mereka pada kesimpulan yang indah dan memuaskan.
Trollope adalah seorang pengrajin cerita yang ulung, seorang maestro dalam seni menenun narasi. Keunggulannya terletak pada kemampuannya mengendalikan alur cerita dengan presisi, menjaga keseimbangan antara kecepatan dan proporsi sehingga membuat pembaca terpikat tanpa merasa terburu-buru.
Tokoh-tokoh ciptaannya bukanlah sekadar bayangan di atas kertas, melainkan sosok-sosok yang begitu nyata dan mudah dikenali. Mereka adalah cerminan dari tipe dan individu yang ada di sekitar kita, sehingga membuat kisah yang dijalani terasa dekat dengan realitas.
Salah satu kehebatan Trollope adalah pemahamannya yang mendalam tentang pernikahan. Ia mampu mengungkap dinamika hubungan suami istri dengan cara yang modern dan jauh melampaui zamannya. Trollope menunjukkan dua wajah pernikahan, yang ditampilkan kepada dunia dan yang hanya diketahui oleh pasangan itu sendiri, sebuah kebenaran yang jarang disentuh oleh penulis Victoria lainnya.
Sebagai dalang di balik cerita, Trollope selalu selangkah lebih maju dari pembaca. Ia mengetahui setiap detail dunia yang diciptakannya, menciptakan rasa percaya dan menghilangkan keraguan akan kemampuannya dalam mengendalikan narasi.
Gaya penulisan Trollope yang objektif, bersahaja, detail, dan fasih melengkapi keahliannya dalam menggambarkan aspek sosiologis dan psikologis para tokohnya. Ia adalah seorang pengamat yang cermat, seorang penulis yang mampu menghidupkan dunia dan karakter dengan ketepatan dan keindahan.
Trollope bukanlah penulis yang hidup di menara gading. Ia adalah seorang pria dunia yang mencicipi asam garam kehidupan, mewarisi jiwa petualang dari ibunya, seorang novelis dan penulis perjalanan yang menghidupi keluarga mereka. Tak heran jika Trollope memiliki pengalaman hidup yang begitu kaya. Kariernya di layanan sipil Inggris membawanya menjelajahi berbagai belahan dunia, jauh melampaui penjelajahan Dickens ke Amerika, Prancis, dan Italia.
Bayangkan Trollope menetap di Irlandia, menyeberangi samudra ke Amerika Serikat dan Eropa berkali-kali, bahkan menginjakkan kaki di Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan! Perjalanan-perjalanan ini memperluas wawasannya, memberinya pemahaman yang mendalam tentang berbagai budaya dan masyarakat.
Trollope mengenal dengan baik dunia kelas penguasa Inggris, baik dari segi sosial maupun politik. Pengetahuan ini tercermin dalam tulisan-tulisannya yang tajam dan realistis. Berbeda dengan para penulis Victoria lainnya yang sering menggambarkan tokoh muda yang terlalu idealis dalam urusan asmara, Trollope menampilkan keraguan dan pergulatan batin mereka dalam memilih antara cinta dan kemapanan finansial. Hal ini menunjukkan kepekaan Trollope terhadap realitas kehidupan dan kemampuannya dalam menciptakan karakter yang kompleks dan relatable.
Trollope memiliki kemampuan luar biasa untuk menyelami pikiran karakter-karakternya, mengungkapkan alur pemikiran mereka, dan menunjukkan bagaimana mereka seringkali menipu diri sendiri atau memiliki persepsi yang keliru tentang diri mereka sendiri. Ia dengan cermat menggambarkan kontras antara bagaimana mereka melihat diri sendiri dan bagaimana orang lain memandang mereka.
Setiap karakter dalam dunia Trollope terjalin erat dalam jaringan sosial yang kompleks, dan keterikatan ini menimbulkan berbagai konsekuensi. Contohnya, perdebatan antara Mayor Grantly dan ayahnya mengenai pertunangannya dengan Grace Crawley mengungkapkan dinamika keluarga yang penuh dengan emosi seperti kemarahan, kebencian, ketegaran, dan ancaman kosong. Konflik ini, yang hampir menyebabkan putusnya hubungan ayah dan anak, dikemas dengan cerdik melalui diskusi sepele tentang rubah di tanah keluarga.
Meskipun piawai dalam mengeksplorasi karakter-karakter yang eksentrik seperti Crawley, Trollope juga mampu menampilkan keunikan dalam kenormalan. Ia mengindividualisasikan karakter-karakter biasa dan membuat mereka menarik, menawarkan gambaran kehidupan yang relatable dengan permasalahan yang relevan dengan kehidupan pembaca.
Berbeda dengan penulis lain seperti Flaubert yang sensual, Dickens yang visioner, atau George Eliot yang moralis, Trollope menampilkan pandangan yang lebih ramah dan optimis. Novel-novel Barchester menyajikan akhir cerita yang menyenangkan, sejalan dengan tradisi komedi Inggris klasik dari Fielding dan Scott.
Trollope menulis dengan logika dan nalar, namun ia juga menyadari sisi irasional, romantis, dan tidak bermoral dalam diri manusia. Gaya penulisannya yang seimbang membuat penulis Victoria lainnya terkesan berlebihan dan melodramatis. “The Last Chronicle of Barset” adalah sebuah novel yang indah dan menyenangkan, sebuah mahakarya yang menawarkan pengalaman membaca yang memuaskan dan berkesan.