Tampaknya Boeing sedang dihantam badai permasalahan. Perusahaan penerbangan raksasa ini tengah menghadapi berbagai masalah yang seakan tak ada habisnya: tuntutan hukum, denda jutaan dolar akibat kecelakaan tragis, kematian seorang pelapor yang mengungkap masalah internal, pesawat-pesawat yang rusak, dan kerugian finansial yang menggunung. Di tengah situasi yang sudah penuh tekanan ini, 30.000 pekerja Boeing memutuskan untuk melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut kenaikan gaji yang sudah tak mereka dapatkan selama 16 tahun, dan mereka bertekad untuk tidak kembali bekerja sampai tuntutan mereka dipenuhi.
Pemogokan besar terakhir yang terjadi di Boeing adalah pada tahun 2008, yang menyebabkan kerugian hampir setengah miliar dolar bagi perusahaan. Aksi mogok kali ini berpotensi menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, mengingat skala dan durasi yang belum bisa dipastikan. Pertanyaannya, apakah Boeing siap menghadapi pukulan finansial sebesar itu, di tengah badai masalah yang sudah menerpa? Mari kita simak laporan selanjutnya untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut.
Sementara itu, di tengah malam yang sunyi, alat-alat kerja di pabrik Boeing tergeletak tak tersentuh. 30.000 pekerja telah meninggalkan pos mereka, dan mereka tidak akan kembali dalam waktu dekat. Aksi mogok ini bukan sekadar soal gaji, melainkan juga tentang praktik perburuhan yang tidak adil. “Ini adalah pemogokan yang didasari oleh praktik perburuhan yang tidak adil,” ujar salah seorang pekerja. “Kami mengalami diskriminasi, interogasi yang memaksa, pengawasan yang melanggar hukum, dan janji-janji manfaat yang tidak ditepati.”
Situasi ini semakin menambah kompleksitas masalah yang dihadapi Boeing. Aksi mogok ini bukan hanya berdampak pada produksi dan keuangan perusahaan, tetapi juga pada reputasinya. Bagaimana Boeing akan mengatasi krisis ini? Akankah mereka mampu memenuhi tuntutan pekerja dan kembali beroperasi dengan normal? Atau akankah badai ini semakin menghantam mereka hingga terpuruk? Terakhir kali para pekerja Boeing melakukan aksi mogok adalah pada tahun 2008.
Pemogokan tersebut berlangsung selama delapan minggu yang melelahkan dan mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan, mencapai sekitar $1,5 miliar. Akhirnya, setelah negosiasi yang panjang dan alot, perusahaan dan pekerja berhasil mencapai kesepakatan. Kontrak yang sama tersebut telah berlaku hingga saat ini. Namun, waktu terus berlalu, dan jelas bahwa sudah waktunya untuk melakukan penyesuaian dan peningkatan. Serikat pekerja dan perusahaan pun duduk bersama untuk merundingkan kesepakatan baru.
Tuntutan awal para pekerja adalah kenaikan gaji sebesar 40%, mencerminkan inflasi dan stagnasi upah yang mereka alami selama bertahun-tahun. Namun, Boeing mengajukan proposal tentatif untuk kenaikan gaji sebesar 25% selama empat tahun. Meskipun serikat pekerja menyebutnya sebagai “kontrak negosiasi terbaik” dan mendesak para pekerja untuk menerimanya, para pekerja merasa tidak puas.
“Seluruh kontrak ini tidak adil,” keluh salah seorang pekerja. “Mereka mengambil terlalu banyak dari kami tanpa memberikan imbalan yang sepadan. Kenaikan 25% itu omong kosong. Kami belum mendapatkan kenaikan gaji dalam 16 tahun! Rasanya mereka hanya mencoba meredakan kami sedikit, dan itu bukanlah cara yang tepat untuk memperlakukan karyawan jika Anda benar-benar ingin kami bekerja dengan sepenuh hati dan menghasilkan pesawat berkualitas.”
Kekecewaan dan frustrasi para pekerja mencapai puncaknya. Di Seattle dan Portland, para pekerja memberikan suara mereka. Hasilnya sungguh mengejutkan: 94,6% menolak perjanjian tersebut, dan 96% memilih untuk melakukan aksi mogok. Inilah alasan mengapa mereka sekarang telah meletakkan peralatan mereka dan bersatu dalam aksi mogok, bertekad untuk tidak kembali bekerja sampai Boeing menunjukkan kesediaan untuk berunding dengan itikad baik dan menawarkan kesepakatan yang lebih adil.
Bagi CEO Boeing yang baru saja menjabat, Kelly Urtberg, ini adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Baru lima minggu menjabat, ia sudah harus menghadapi badai pemogokan besar-besaran yang mengguncang perusahaan. Ini adalah ujian kepemimpinan yang berat, dan bagaimana ia menangani krisis ini akan menentukan masa depan Boeing.
Dulu, Boeing adalah simbol keunggulan dalam industri penerbangan, sebuah perusahaan yang namanya identik dengan inovasi dan keamanan. Namun, dua kecelakaan fatal yang melibatkan pesawat 737 Max, ditambah dengan serangkaian insiden lain seperti kematian pelapor yang misterius dan kurangnya akuntabilitas, telah mencoreng reputasi perusahaan ini. Terbang dengan Boeing, yang dulu merupakan kebanggaan, kini menjadi sumber kekhawatiran bagi banyak orang.
Krisis kepercayaan ini juga berdampak pada kondisi keuangan Boeing. Pada bulan Juli, perusahaan terpaksa mengaku bersalah dalam kasus yang terkait dengan dua kecelakaan 737 Max, dan harus membayar denda pidana hampir $244 juta. Tuntutan hukum lainnya juga mengintai, termasuk kasus pintu pesawat yang meledak di udara dalam penerbangan Alaska Airlines. Belum lagi pembatasan produksi yang ditetapkan oleh Administrasi Penerbangan Federal AS, yang membatasi jumlah pesawat 737 Max yang boleh diproduksi Boeing.
Di tengah situasi yang sudah sulit ini, pemogokan pekerja semakin memperparah keadaan. Produksi pesawat terlaris perusahaan, 737 Max, akan terhenti total. Sejak 2019, Boeing belum berhasil mencatatkan satu kuartal pun yang menguntungkan, dan tampaknya harapan untuk kembali ke jalur profitabilitas semakin menjauh.
Kelly Urtberg kini berada di persimpangan jalan. Ia harus mengambil tindakan tegas untuk mengatasi krisis ini, baik dari sisi hubungan dengan pekerja maupun dari sisi pemulihan reputasi perusahaan. Jika tidak, Boeing bisa terjerumus lebih dalam ke dalam jurang kerugian dan kehilangan kepercayaan publik. Dalam menghadapi gejolak ini, apa langkah yang bisa diambil Boeing?
Jalan keluar yang paling masuk akal saat ini adalah menemukan penyelesaian secepat mungkin, dan tampaknya ada secercah harapan untuk itu. Boeing telah menunjukkan sinyal positif bahwa mereka siap untuk kembali ke meja perundingan. Namun, pertanyaannya adalah, apakah para pekerja juga memiliki keinginan yang sama untuk bernegosiasi? Hanya waktu yang akan menjawabnya dalam beberapa minggu mendatang.
Apapun hasil akhirnya, satu hal yang pasti: Boeing masih harus menghadapi turbulensi yang cukup besar di masa depan. Pemogokan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak tantangan yang harus dihadapi perusahaan. Mereka harus bekerja keras untuk memulihkan kepercayaan publik, memperbaiki hubungan dengan pekerja, dan mengatasi masalah keuangan yang membelit. Jalan menuju pemulihan akan panjang dan berliku, tetapi dengan kepemimpinan yang kuat dan strategi yang tepat, Boeing mungkin bisa keluar dari badai ini dengan lebih kuat dan tangguh.
Kita semua akan menyaksikan bagaimana Boeing menavigasi masa-masa sulit ini. Akankah mereka berhasil menemukan jalan keluar dari krisis ini? Atau akankah turbulensi ini terus mengguncang perusahaan hingga ke titik terendah? Masa depan Boeing tergantung pada keputusan-keputusan yang akan diambil dalam beberapa minggu ke depan.