Meski secara harfiah radikal yang berasal dari kata radix (Latin) berarti mengakar, radikal atau radikalisme sudah terlanjur menjadi sebutan bagi kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak dan prinsipnya secara serampangan. Pemaksaan kehendak dan prinsip itu berupa penolakan terhadap yang berbeda agama, suku, ras, dan kelompok berdasarkan alasan yang sebernarnya sangat tidak mengakar (kuat) dan sekadar menggunakan narasi-narasi asumsi dan khayalan.
Mengakar sebagai arti sesungguhnya dari radikal merupakan sesuatu yang penting dalam praktik bermasyarakat, beragama, berpolitik, dan berpendidikan. Artinya, dalam setiap praktik kehidupan seseorang mesti mengakar terhadap prinsip-prinsip yang ia percayai. Seorang kristiani mesti mengakar pada ajaran-ajaran Kristus sebagai dasar praktik imannya, seorang muslim mesti mengambil nilai-nilai suci dan mulia dalam Al-Qur’an sebagai tuntunan dalam keberimanannya, demikian juga dalam agama dan kepercayaan lain. Selalu ada rujukan utama sebagai bentuk kemendalaman (akar) yang menjadi kekuatan utama dalam menjaga tubuh, perbuatan, dan buah manusia agar tidak mudah tumbang dan rapuh.
Praktik politik juga selalu menganut “radikalisme” tertentu, ada yang nasionalis, agamis, bahkan cenderung khilafah diam-diam. Tiap partai politik memiliki keyakinannya masing-masing dalam memilih dan menjalankan akar seperti apa yang ingin dibangun dan kemudian menjadi praktik-praktik partai tersebut. Dalam hal ini, keyakinan dan pemilihan akar selalu menentukan apa dan bagaimana sebuah pohon (negara, parpol, kelompok) bertumbuh dan berbuah.
Di Indonesia, Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir menganut aliran Wahhabisme, sebuah aliran penganut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 – 1791) yang notabene merupakan aliran Salafiyah (menerapkan tradisi generasi perdana Islam) dan muwahhidun atau penegak tauhid. Beraliran Salafiyah, Wahhabisme melakukan perlawanan keras terhadap golongan yang dianggap mereka sebagai thaghut (kelompok yang tidak berhukum dengan hukum Allah versi Wahhabisme) dengen mempertentangkan khasanah lokal dengan ideologi mereka (Ridwan, 2020).
Buah dan gerakan organisasi FPI dan HTI kemudian sesuai dengan akar yang mereka pilih, yaitu menjadi radikal sebagaimana gerakan Wahhabisme. Misalnya sebelum dibubarkan kedua ormas terlarang itu kerap main hakim sendiri membubarkan konser, menutup warung saat puasa, demo menolak pendirian ibadah, membubarkan pentas kesenian, hingga secara terstruktur masuk dalam sistem pemerintahan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro khilafah.
Melalui penangkapan dan pengungkapan kasus-kasus jaringan kelompok radikalisme, gerakan kelompok radikalisme penganut khilafah terbukti telah merangsek dalam sendi kehidupan negara melalui keterlibatan mereka dalam sistem pemerintahan sebagai anggota dewan, pejabat, pegawai negeri sipil, dosen, guru, bahkan TNI – Polri.
Gerakan ideologis khilafah yang telah tersitematis ini mesti dilawan melalui sistem juga. Salah satunya adalah melalui sistem pendidikan. Sebab di sekolah dan kampus, kelompok pro khilafah dan radikalisme memiliki ruang yang leluasa dalam penanaman paham khilafah dan radikalisme pada siswa dan mahasiswa. Sebagai pengingat, kasus-kasus institusi pendidikan yang mewajibkan berpakaian agama tertentu untuk seluruh siswa, karnaval HUT RI yang menampilkan anak-anak TK berseragam hitam, bercadar, dan menenteng mainan AK-47, serta kasus-kasus kecil seperti guru yang mengkondisikan siswanya untuk tidak memilih ketua OSIS yang tak seagama.
Jika mantan teroris, Ali Imron mengatakan hanya butuh waktu dua jam untuk mendoktrin seseorang menjadi teroris, bagaimana dengan enam tahun di SD, tiga tahun di SMP dan SMA, serta empat tahun di universitas? Tentu saja ini menjadi sangat berbahaya jika institusi pendidikan disusupi kelompok pro khilafah yang mendorong praktik-praktik intoleransi sejak dini yang kemudian menjadi praktik radikal.
Pendidikan Kontekstual
Selain masuknya kelompok radikal ke dalam institusi pendidikan, rapuh dan hilangnya arah institusi pendidikan sendiri menjadi pendorong mengapa banyak siswa dan mahasiswa tidak merasa enjoy dan mencintai masa-masa remajanya di sekolah dan kemudian menjadi tertarik pada aliran dan kegiatan khilafah radikalisme yang “diyakini” lebih memberikan arah yang jelas dan menantang.
Kerapuhan dan kehilangan arah dalam dunia pendidikan itu ditandai dengan sikap, prinsip, dan praktik pendidik yang cupet pikiran. Pendidik masih merasa sebagai sumber pengetahuan tunggal bagi siswa dan harus selalu mempercayai dan “menyembahnya”, padahal era digital membuat informasi menjadi tersedia tanpa batas waktu dan jarak. Pendidik juga merasa materi ajarnya adalah yang paling penting dibandingkan dengan yang lain sehingga setiap siswa harus menguasai dengan sebagik-baiknya, sehingga siswa menjadi mabuk hapalan semua materi ajar tanpa mengetahui manfaatnya.
Hal terpenting adalah pendidik lupa memberikan roh, daging atau konteks dari apa yang ia ajarkan. Seorang guru biologi menjelaskan jenis-jenis akar dan meminta siswa menghapalnya untuk ujian tanpa memberikan pemahaman kontekstual mengenai fungsi dari masing-masing akar itu dan mengajak siswa bersentuhan dengan apa yang ia ajarkan. Akhirnya siswa hanya menghapal tapi tidak memahami dan kemudian membatin “Lalu apa dampaknya dalam hidupku setelah aku hapal jenis-jenis akar?”
Pendidikan kontekstual adalah proses belajar yang memberikan roh, daging atau konteks dalam setiap hal yang diajarkan. Pendidikan kontekstual adalah jawaban dari pertanyaan siswa “Njuk ngopo?” lalu bagaimana setelah aku tahu ilmu yang Bapak/Ibu berikan? Pendidikan kontekstual menghubungkan apa yang disampaikan di ruang kelas dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Sebuah cerita dari kaki gunung Merapi ini akan menjelaskan mengenai pendidikan kontekstual. Beberapa siswa di SMA Marsudirini Muntilan dibagi dalam beberapa kelompok riset, diantaranya adalah meneliti tomat, sejarah perkebunan salak, minyak sisa pedagang gorengan, dan banguanan bambu.
Penelitian tomat misalnya, bermula dari salah satu anggota tim peneliti yang tergerak oleh pengalaman di rumah saat melihat orang tuanya yang merugi karena harga tomat anjlok saat panen tiba. Orang tuanya memutuskan membiarkan tomat mereka membusuk di sawah karena harga jualnya sangat tidak sesuai dengan tenaga, pupuk, dan perwatan yang selama ini mereka lakukan.
Peneliti tomat ini menemukan: tomat menjadi pilihan karena mudah tumbuh dan mudah perawatan, banyak yang membiarkan tomatnya membusuk karena tidak mudah disimpan, serta data-data kuantitatif seperti luas lahan, jumlah petani, jumlah panenan, dan lainnya.
Keasyikan dalam melakukan penelitian dan eksperimen, kepekaan sosial, gotong royong, kebermanfaatan diri dan ilmu, perjumpaan pada yang berbeda, membuat siswa kembali menemukan roh dalam belajar. Dorongan-dorongan tersebut juga membuat siswa menjadi lebih berkesadaran atas kekayaan lokal, keterlibatan, dan akhirnya menciptakan generasi yang nasionalis, moderat, menghargai perbedaan, mengutamakan gotong royong, dan yang terpenting tercipta ekosistem belajar antara keluarga, sekolah, dan lingkungan. Sehingga tanpa perlawanan pun, radikalisme dan intoleransi hilang dengan sendirinya.