Istilah hijrah yang tadinya sangat positif, kini menjadi kontroversi karena dipakai oleh sekelompok yang mengklaim “lahir dan pindah menuju hidup dari situasi lama ke dalam situasi baru, situasi yang dianggap lebih dari situasi yang mereka alami sebelumnya.” Situasi lama mereka biasa sebut sebagai situasi kebodohan dan situasi baru itu sering mereka klaim sebagai situasi yang lebih sesuai dengan penuh kebenaran dan sinar pengetahuan. Mereka juga mengklaim situasi yang mereka jalani itu adalah situasi yang sesuai dengan Sunnah. Karena mereka yang paling Sunnah maka yang lain dianggap mereka tidak sesuai Sunnah. Karena yang lain tidak sesuai dengan Sunnah, maka yang lain mereka anggap melakukan hal yang tidak diizinkan oleh Sunnah. Pendek kata, kelompok hijrah ini memantapkan diri sebagai kelompok yang paling benar. Cara pandang demikian sering diucapkan oleh mereka yang hijrah, dari banyak lapisan, orang biasa, orang terpelajar dan bahkan artis-artis.
Sementara banyak pihak yang masih berharap jika orang-orang yang mengklaim berhijrah ini untuk kembali kepada jalur kehidupan agama yang moderat. Moderat di sini berarti cara pandang dan sikap keagamaan di tengah-tengah. Dalam bahasa Arabnya, moderat adalah wasatiyyah. Sikap dan cara pandang moderat inilah sesungguhnya yang dianjurkan Nabi Muhammad untuk umatnya. Dalam sebuah hadisnya dinyatakan, sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Sikap dan cara pandang moderat ini diyakini adalah sikap dan cara pandang yang paling ideal bagi umat apabila bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sikap moderat ini umat Islam tidak mudah mengekslusi dan mempersekusi pihak seagama dan bahkan yang tidak seagama. MUI dan organisasi-organisasi Islam mengajak semua umat Islam di Indonesia agar mengikuti Islam-Wasatiyyah ini. Bahkan negara, melalui program Kementerian Agama memprakarsai kegiatan-kegiatan dialog antar umat Islam dan juga antar agama tentang moderasi beragama.
Namun, maukah kelompok hijrah ini mengubah sikap dan cara pandang yang cenderung ekstrim ini untuk ke arah tengah? Saya berpendapat jika mereka, kelompok hijrah ini, akan sulit untuk ke tengah. Mereka sulit untuk menjadi orang yang bisa melihat praktik keagamaan di luar kelompoknya sebagai kelompok yang sama dengan mereka, dalam hal kebenaran. Mereka sulit untuk menerima kenyataan bahwa ada kebenaran lain di luar kebenaran yang mereka yakini. Bahkan mereka sulit bisa menerima bahwa di dalam agama itu ada khilafiyah (perbedaan pendapat).
Orang seperti Ari Untung akan sulit untuk menerima kenyataan bahwa di kalangan ahli fiqih itu ada perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank. Hal ini bisa terjadi karena dalam mendapatkan pengajaran agama, mereka mendapatkannya melalui jalur yang doktrinal dan otoriter. Guru-guru mereka tidak memberikan pengetahuan yang obyektif tentang perkembang keilmuan di dalam Islam, keilmuan keagamaan tentang tafsir al-Qur’an, hadis, fiqih, usul fiqih, tasawuf dan lain sebagainya, yang terus berkembang menjawab tantangan zaman. Guru-guru mereka lebih menekankan pada aspek ketaatan-literal daripada aspek nalar agama yang rasional.
Jadi, bicara kaum hijrah ini tidak bisa berhenti pada sosok artis-artis atau kelompok-kelompok masyarakat lain yang sering aneh mengeluarkan kontroversi sepihak dan tanpa dasar, namun juga bicara pada tradisi penularan pengetahuan Islam yang terjadi di kalangan mereka. Saya berpandangan bahwa orang-orang yang mendapat pengetahuan agama dengan jalur yang demikian akan sulit untuk bergerak menjadi manusia moderat. Mereka akan cenderung terus berada di zona ekstrim.
Dalam konsep demokrasi kita, berhadapan dengan kelompok hijrah ini problem tersendiri. Pada satu sisi, mereka memiliki hak untuk berada pada posisi keagamaan yang ekstrim, namun pada sisi lain, posisi yang seperti itu akan memberi pengaruh buruk pada kehidupan publik. Bayangkan kalau mereka terus mempromosikan agar orang keluar dari pekerjaan mereka yang terkait dengan bunga bank karena bunga bank bagi mereka pasti haramnya, maka hal itu akan berdampak menyusahkan negara. Mengapa?
Karena setelah keluar dari pekerjaan mereka, mereka tidak memiliki pekerjaan yang pasti. Pada umumnya, pada bulan-bulan awal mereka bisa berusaha dengan berjualan produk-produk tertentu atau yang lain, namun banyak kasus menununjukkan akhirnya mereka tiba menjadi pihak yang tidak memiliki penghasilan tetap. Apa yang mereka dapatkan sehari-hari tidak sesuai dengan kebutuhan yang harus mereka penuhi sehari-hari. Artinya apa?
Mereka akan menjadi beban negara dan mungkin masyarakat. Dan jika yang terjadi demikian, apa yang bisa dilakukan oleh para penganjur hijrah atas umat mereka ini?
Tidak semua dari mereka yang memiliki harta cukup, tabungan, atau ketrampilan usaha. Tidak semua dari mereka seperti artis-artis hijrah yang masih memiliki modal cukup untuk menjalani hidup mereka. Mengapa mereka misalnya tidak berusaha untuk tahu dulu bahwa di dalam perdebatan fiqhiyyah soal bunga bank itu menjadi wilayah khilafiyah. Ada ulama yang mengharamkam bunga bank dan ada ulama yang membolehkan bunga bank karena bunga bank yang ada sekarang ini tidak masuk dalam kategori riba yang dikehendaki al-Qur’an.
Melihat beberapa studi, problem kelompok hijrah ternyata tidak hanya terkait dengan sikap ekslusif dan ekstrim mereka, namun juga terkait dengan soal ketahanan ekonomi mereka pasca hijrah yang tidak jarang mengalami kesulitan. Namun, banyak dari mereka yang menganggap jika kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup pasca hijrah bukan mereka anggap sebagai masalah besar bagi mereka. Mereka berkeyakinan jika hidup keluar dari jeratan ekonomi riba adalah sebuah kewajiban bagi mereka. Keyakinan mereka atas hal ini sangat tinggi. Dari kesulitan ini pula lalu mereka mulai mengkritik sistem ekonomi negara yang yang menurut mereka harus diubah.
Sebagai catatan, kombinasi antara keyakinan agama yang literal dan tertutup dengan keyakinan ekonomi yang sebagaimana mereka peluk adalah hal yang menurut hemat saya sesuatu yang sulit bagi mereka untuk kita harapkan bergerak menuju ke tengah, ke arah moderasi beragama.